Jumat, 12 Desember 2008

TAKBIR CINTA ZAHRANA

STRUKTUR NOVEL
“TAKBIR CINTA ZAHRANA”


Masalah
Novel Takbir Cinta Zahrana mengemukakan kehidupan yang cukup kompleks. Hal ini ditunjukkan oleh pengarangnya bahwa banyaknya masalah yang dihadirkan baik dalam laku atau pun percakapan antar tokoh yang bersangkutan dalam cerita tersebut, yang mana dengan hadirnya masalah tersebut, menurut hemat saya justru melengkapi isi dalam cerita tanpa memisahkan satu dengan yang lainnya. Membentuk keindahan sutau karya yang nikmat untuk dibaca.
Masalah-masalah tersebut timbul dalam kehidupan Zahrana, seorang wanita yang dapat dikatakan telah terlambat menikah. hal ini tentu menjadi permasalahan yang cukup pelik ketika seorang wanita di usianya yang lebih dari kepala tiga belum kunjung menemukan tambatan hatinya.
Masalah yang pertama dalam novel ini adalah “keteguhan prinsip untuk mencari jodoh yang sesuai dengan hati Zahrana”. Arti ”prinsip” dalam bahasa yang dapat dicerna. Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, edisi ketiga menjelaskan ”prinsip ialah kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Prinsip dasar manusia merupakan hal yang mendasari sepakterjang seseorang. Akan tetapi, prinsip jua sering tergoyahkan oleh materi terutama uang. Sejauh mana sebuah prinsip itu dibangun? kaku atau tegas atau mungkin fleksibel? yang penting orang suka atau bagaimanakah?
Di dalam novel Takbir Cinta Zahrana tokoh-tokoh yang secara pribadi saya anggap mempunyai keteguhan prinsip adalah Zahrana, Lina, Wati, Rahmad Serta Hasan (merupakan pemuda dan Pemudi yang dapat di andalkan keteguhan prinsip mereka). Keteguhan prinsip kehidupan dimungkinkan karena latar belakang mereka yang telah mengenyam pendidikan, walaupun ada beberapa tokoh seperti Rahmad yang tidak sampai menegenyam pendidikan ke perguruan tinggi. akan tetapi, Rahmad mempunyai keteguhan prinsip kehidupan untuk berbakti kepada Kiyai.
Zahrana merupakan tokoh utama dalam novel ini, yang digambarkan dengan seorang wanita yang mempunyai keteguhan prinsip. Prinsip bahwa ia akan mencari seorang yang dapat menjadi imam bagi kedupannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata keteguhan hati Zahrana di coba oleh Sang Maha Kuasa. Di usia berkepala tiga, yang tidak lagi muda membuat lingkungan sekitanya kasihan terhadap dirinya. Orang tua Zahrana mencoba meluluhkan hati Zahrana ketika datang lamaran dari orang yang kaya raya, untuk segera menerima dan menikah serta tidak perlu menjunjung tinggi prinsip yang dianggap orang tua Zahrana salah. Hal ini dituturkan oleh pengarang pada halaman 18:
“kowe mikir opo Nduk? kowe ngenteni opo, Nduk? Dadine kapan kowe kawin?”
Perkataan sederhana, namun cukup memiliki kekuatan dahsyat untuk menggoyangkan prinsip Zahrana.
Masalah kedua adalah “ancaman serta teror dari lingkungan kerja Zahrana”. Masalah kedua ini timbul karena dipicu dari penolakan sebuah lamaran yang di ajukan Bpk. H Sukarman, M.Sc.—yang merupakan dekan fakultas Teknik di mana Zahrana mengajar—kepada Zahrana. Bpk Sukarman tidak terima, ia merasa di injak-injak harga dirinya karena Zahrana berani meolak lamarannya. Berbagai teror di gencarkannya untuk melukai hati Zahrana. Misalnya sebagaimana yang ada dalamkutipan di bawah ini:
“Apa kabar Perawan Tua?”
“Kepala itu semakin tua semakin tua semakin banyak santannya, banggalah jadi Perawan Tua!.”
Teror itu terus berlanjut hingga akhirnya Zahrana kehilangan calon suaminya yang meninggal karena ditabrak kereta api. Kematian Rahmad—calon suami Zahrana—mebuat ayah Zahrana mendapat serangan jantung. Seketika itu pun ayahnya menyusul calon suami Zahrana. Hal ini cukup membuat Zahrana stress berat. Zahrana hampir kehilangan semangat hidup.
Masalah ke tiga adalah “mahasiswa yang meminang dosen”. Bagi seorang wanita tentu agak terasa risik (tidak enak hati) jika calon suaminya berbeda jauh umurnya. Zahrana yang saat itu usianya sudah 34 mendapat tawaran menikah dari Hasan yang berumur 29—mahasiswanya sendiri.
Disini juga terjadi perdebatan yang sengit, antara ketetapan dalil baik dari al-Qur`an maupun Sunnah dengan rasionalitas. Memang terlihat aneh atau tidak serasi apabila mahasiswa menikah dengan dosen. Hal ini juga akan menimbulkan sisi tidak etis bagi sebagian lingkungan yang kurang berwawasan. Akan tetapi, semua hal itu dipatahkan oleh agama, bahwa tidak ada larangan seorang murid meminang atau menikahi dosennya. Karena memang tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mahasiswa diharamkan meminang dosen.

Tema
Tema merupakan dasar cerita yang paling penting dari seluruh cerita. Tanpa tema, sebuah cerita rekaan tidak ada artinya sama sekali. Selain itu, tema juga merupakan tujuan cerita, atau ide pokok di dalam suatu cerita yang merupakan patokan untuk membangun suatu cerita. Dengan kata lain, tema adalah suatu unsur yang memandu seorang pengarang sebagai ide utama atau pemikiran pokok, ke mana sebuah cerita akan diarahkan.
Zahrana yang dalam perjalanan hidupnya mencari cinta. Cinta dunia dan akhirat. Cinta yang dapat mengantarkan dirinya serta anak-anaknya kelak menjadi keluarga yang seutuhnya. Bahagia dunia akhirat.
Untuk itu tema yang dapat saya baca dari novel ini adalah “mencari jodoh yang shaleh”. Di sini, penulis mengangkat tema ini karena acapkali seseorang yang akan menikah bukanlah ketaqwaannya kepada Allah, malah justru kekayaan harta yang dijadikan prioritas.
Hal ini didukung oleh cerita di mana Zahrana selalu menolak orang-orang yang melamarnya. karena Zahrana ingin mencari pendampinghidup yang baik, baik bagi dirinya dan anak-anaknya kelak. Selain ketaqwaan, Zahrana juga tidak ingin menikah untuk seolah-olah bahagia dengan orang yang tidak ia cintai.

Alur
Alur cerita adalah bagaimana kejadian-kejadian dirangkai (biasanya berdasarkan sebab akibat) mulai dari titik awal menanjak terus sampai titik klimaks untuk kemudian menurun dan mencapai resolusi atau penyelesaian.
Takbir Cinta Zahrana merupakan novel yang beralur maju atau progresif. Dalam hal ini narator memulai ceritanya dengan penggambaran sosok Zahrana yang mempunyai pekerjaan yang terhormat dan bisa di banggakan. Soarang wanita yang sukses dalam bidang akademis. Cerita ini terus berkembang sesuai urutan waktu hinnga pada akhir cerita yang bersifat happy ending berupa berlangsungnya pernikahan Zahrana dengan Hasan.
Alur novel bersifat rapat. Karena pergantian peristiwanya yang terbilang cepat. Dalam hal ini, penyimpangan (digresi) sepanjang alur yang sengaja tidak terlalu banyak ditampilkan. Karena penyimpangan dalam sebuah novel dianggap kurang mempunyai peranan yang membangun, tetapi bukan berarti tidak membangun cerita.
Adapun alur peristiwa-peristiwa Takbir Cinta Zahrana, akan saya uraikan sebagai berikut.
a) Matanya berkaca-kaca meratapi nasibnya. Diusianya yang telah berkepala tiga, ia masih juga belum menemukan calon suami yang cocok di hatinya. Ia menyesal ketika ia merasa bahwa jodoh semakin menjauh di umurnya yg sudah berkepala 3 itu. Penyesalan yang terlambat karena semua lelaki yg pernah melamarnya sudah berumah tangga dengan wanita lain. Suatu hari seseorang kembali datang melamarnya. Tidak tanggung-tanggung, yg datang kali ini adalah Dekan di fakultas di mana ia mengajar. Lamaran itu datang dari seorang duda bertitel haji dengan kekayaan yg melimpah ruah yg akan membuat perempuan mana pun tidak akan berpikir dua kali untuk menerima lamarannya. Tapi berbeda dengan Zahrana yang tahu persis sikap dan akhlak kurang terpuji yg dimiliki oleh Pak Karman, Dekan yang akan melamarnya itu.
Zahrana kebingungan. Menolak lamaran pak Karman berarti lagi-lagi harus mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah renta. Menerima berarti ia harus bersedia hidup dengan lelaki yang terkenal suka berbuat asusila terhadap mahasiswi di kampus. Keputusan harus diambil. Ia pun menolak meskipun ia sangat mengerti resiko dari penolakannya itu.
Zahrana hampir saja putus asa dan memutuskan untuk menerima lamaran pak Karman. Akan tetapi akal sehatnya masih berfungsi. Karena bagaimana mungkin orang yang ia benci karna sikapnya yang amoral dapat menjadi anutan bagi dirinya serta anak-anaknya kelak?
Zahrana tetap menolak dengan cara baik dan sehalus mungkin. karena hanya dengan kelembutan sikap ia dapat menang dan dengannya merupakan senjata yang paling ampuh untuk melumpuhkan lawannya.
b) Pak Karman menjadi dendam dan berusaha mengeluarkannya dari kampus secara tidak terhormat. Sebelum niat Pak Karman kesampaian, ia terlebih dahulu mengajukan pengunduran diri dan memilih mengajar di salah satu STM yang bernaung di bawah sebuah pesantren. Karena untuk menghindari hal-hal yang mungkin tidak ia inginkan. akhirnya Zahrana pun mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen. Nampaknya penderitaan Zahrana tidak berhenti di situ sahaja. Penolakan yang ia sampaikan kepada pak Karman secara halus justru menimbulkan masalah baru. Pak Karman tidak terima dan tidak tinggal diam begitu saja. Sebagai orang nomor satu di Fakultas Teknik, ia merasa dilecehkan dan tidak dihargai karma lamarannya ditolak. Berbagai teror di gencarkan olehnya kepada Zahrana serta sumpah serapah serta cacian terus dibuatnya untuk membalas perlakuan Zahrana. berbagai usaha dilakukan untuk menyakiti Zahrana. baik melalui sms ataupun yang lainya.
c) Nampaknya bumi telah banyak berputar pada porosnya. Detik jarum jam berputar begitu cepat. Orang tua Zahrana yang sudah mulai renta, diusia mereka yang senja, mereka sudah sangat merindukan untuk menimang cucu. Akan tetapi, Zahrana belum juga mendapatkan jodoh. Melalui ibu Nyai Sa`adah ia meminta bantuan agar dicarikan jodoh sebagaimana yang ia inginkan. Dan beliaupun dengan suka rela membantunya. Kali ini Zahrana merasa seolah sangat buruk nasibnya, karena harus berjodoh dengan penjual kerupuk keliling. Zahrana hanya dapat pasrah pada takdir hidupnya.
Demi mengejar takdirnya, iapun menunggu penjual kerupuk yang akan lewat di depan rumahnya. Namun, tak satupun yang kunjung datang melewati rumahnya. Lelah,letih serta lesu dalam menunggu. Itulah yang ia rasakan.
Terdengar lirih suara tukang kerupuk menyusup dalam telinganya. Penjual kerupuk itu sudah tua, badanya kurus dan layu terbakar matahari. Zahrana menangis, hatinya pilu jika seandainya jodoh yang dikirim oleh ibu nyai Sa`adah adalah seorang kakek-kakek yang lebih pantas menjadi ayahnya. Zahrana masih menunggu, berharap ada penjual kerupuk lain yang datang.
Hampir menjelang maghrib penjual kerupuk yang ia harapkan pun tiba. Tutur bahasa yang halus, jujur, menearkan pesona tersendiri baginya. Pesona Rahmad sang penjual kerupuk ternyata mampu mekikat hatinya. Kebahagianpun akhirnya datang kepada Zahrana, ia merasa berhak untuk bahagia sebagaimana layaknya wanita pada umumnya, memiliki seorang suami yang nantinya akan membimbingnya mengarungi hidup.
d) Mendekati hari pernikahan kedua pihak keluarga sama-sama sibuk mempersiapkan acara pernikaan. Kebahagian yang Zahrana rasakan tiba-tiba hilang dalam sekejap. Ia bagaikan terbangun dalam mimpi indahnya. Menjelang hari pernikahannya, Rahmad calon suaminya meninggal dunia tertabrak kereta api. Zahrana tak sadarkan diri hingga beberapa hari. Bukanlah pesta pernikahan yang digelar tetapi upacara belasungkawa kematian. Bukan ucapan selama atas kebahagiaannya melainkan ucapan turut berduka cita. Ayah Zahrana yang sudah tua tidak mampu dengan tekanan batin yang terjadi kepada anaknya. Mendengar calon menantunya meninggal pak Munajat (ayah Zahrana) akhrinya mendapatkat serangan jantung. Beliau menyusul calon menantunya hari itu juga. Lengkap sudah penderitaan Zahrana.
e) Zahrana merasa bahwa Kematian calon suaminya tidak wajar. Karna kemungkinan besar ada pak Karman di balik semuanya itu. Zahrana memohon kepada Allah agar orang penyebab kematian calon suaminya, diberikan balasan yang setimpal. Mati dalam keadaan hina di mata manusia.
Selang beberapa hari,beredar di surat kabar bahwa “karena berbuat cabul seorang Dekan Fakultas Teknik mati dibunuh diruang kerjanya”.
Zahrana merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat akhirnya mendapatkan balasannya sendiri.
Kehidupan Zahrana terasa lebih tenang saat ini. Hari-harinya dilaluai penuh semangat dan senyuman. Tiba-tiba sebuah tawaran diajukan oleh dr. Zulaiha—orangtua Hasan—untuk menikah dengan putranya tersebut. Zahrana kaget dan bingung. Seorang mahasiswanya melamar dirinya? Apalagi umur Zahrana lebih tua di banding hasan. Zahrana yang saat itu berumur 34 dan Hasan 29 tahun.
Zahrana pun mengambil keputusan untuk menerima Hasan sebagai suaminya. Karma kepribadian Hasan yang baik. Bagi Zahrana umur tak menjadi masalah, status tidak menjadi masalah bagi dirinya.
Malam itu juga, setelah shalat tarawih Zahrana melangsungkan pernikahannya dengan Hasan. Kebahagiaanya itu menghapus semua derita yang dialaminya selama ini. Ia semakin yakin, bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dan ihsan. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafas Zahrana. Saat itu, benar, benar menjadi malam kesaksian Zahrana atas tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan oleh Allah `Azza wa Jalla kepadanya. Subhanallah wal hamdulillah wa laailaaha illallahu wallahuakbar!.

Tokoh
a) Zahrana
b) Ir, Merlin Siregar M.T.
c) Bpk. H Sukarman, M.Sc,
d) Lina.
e) Wati
f) Orang tua Zahrana
g) Pak Darmanto
h) Bpk Didik Hamdani
i) Nina
j) Hasan
k) Bu Nyai Sa`adah al-Hafidzah
l) Ibu dr. Zulaiha.
Nama-nama yang tersebut di atas merupakan tokoh-tokoh yang tedapat dalam Takbir Cinta Zahrana. Sesuai dengan judul, cerita berpusat pada tokoh Zahrana. Ia muncul sejak awal cerita. Pada bagian berikutnya, prinsipnya tentang mencari pasangan hidup yang sholeh banyak mendapatkan kecaman dari bapak Sukarman—sebagai orang yang telah ditolak lamarannya.
Seorang tokoh tentulah tidak dapat berdiri sendiri atau berlaku sendiri tanpa kehadiran tokoh lain. Oleh karena itu, di dalam novel Takbir Cinta Zahrana pun dihadirkan tokoh-tokoh lain agar cerita benar-benar terasa hidup. Kehidupan itu akan terasakan juga apabila ada interaksi dengan tokoh-tokoh yang lain.

Perkembangan Watak Tokoh
Dalam perkembangan alur, tokoh sederhana bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, bahkan adakalanya tidak berubah sama sekali. Bpk. H Sukarman, M.Sc, selalu ditampilkan jahat. Maka, ketika ia berbuat baik sedikit langsung dicurigai oleh Zahrana bahwa ada kaitan anatara kematian Rahmad—calon suami Zahrana—dengan bpk. H Sukarman, M.Sc. Hal ini terjadi di pertengahan cerita ketika ia berbuat baik—datang untuk melayat dan berbelasungkawa—di hari berkabungnya Zahrana (hlm. 68). Pada cerita selanjtnya tokoh Sukarman ini barulah ketahuan belangnya terlihat oleh umum ketika surat kabar yang menerangkan bahwa S (55 tahun), mencabuli mahasiswinya. Pak Karman meninggal terbunuh di ruang kerjanya (hlm. 74-75). Ia digambarkan sebagai tokoh antagonis yang suka main perempuan, bertindak semena-mena. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Zahrana dan Orang Tuanya, Ir, Merlin Siregar M.T, Lina, Wati, Ibu dr. Zulaiha, Bpk Didik Hamdani, Hasan, Nina, serta Bu Nyai Sa`adah ditampilkan sebagai orang-orang yang baik, bijaksana dan penyanyang.

Penokohan
Dalam penokohan Takbir Cinta Zahrana keadaan fisik dan watak tokoh-tokoh cerita dideskripsikan, diuraikan dan dijelaskan secara langsung oleh narator atau pencerita.
Sebagai tokoh utama pendukung, Zahrana dan Hasan digambarkan kesuksesannya dalam bidang akademis secara berlebihan. Zahrana dapat dikatakan juga sebagai tokoh protagonis atau sentral (tokoh yang banyak mengalami peristiwa). Ia dikenal sebagai seorang dosen dan pengajar yang berdedikasi tinggi, mempunyai keteguhan prinsip, ulet, disiplin dan Tidak hanya itu, sikap Zahrana yang tenang, membuat dia mempunyai wibawa di kalangan masyarakat. Sedangkan Hasan adalah seorang yang rupawan. Ia juga adalah mahasiswa yang sangat berprestasi. Ia merupakan sesosok lelaki yang mempunyai tanggung jawab, sopan, dan berdedikasi. Semangat juangnya dalam meraih cita-cita begitu tinggi. Penokohan mereka saya anggap terlalu berlebihan karena sebagai manusia (dalam bidang akademis) seolah tidak memiliki cacat.
Kemudian penokohan Orang Tua Zahrana di sini digambarkan sebagai orang tua yang sanagat menyayangi anaknya (Zahrana). Berbeda dengan kedua tokoh di atas, orang tua Zahrana dalam penokohannya itu sederhana. Karena layaknya orang tua yang melihat anaknya sudah berkepala tiga namun belum juga menikah, maka orang tua akan merasa sedih
Bpk. H Sukarman, M.Sc., ia digambarkan sebagai seorang dekan fakultas Teknik yang mempunyai intelektual. Namun intelektualnya tidak selaras dengan sifatnya yang angkuh. Ia adalah seorang yang berstaus duda dan bertitel haji dengan kekayaan yg melimpah ruah yang akan membuat perempuan mana pun tidak akan berpikir dua kali untuk menerima lamarannya. Di sini, pak Karman digambarkan sebagai tokoh antagonis yang suka main perempuan, bertindak semena-mena. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Bu Nyai Sa`adah al-Hafidzah seorang yang sangat halus tutur bahasanya, begitu perhatian terhadap anak didiknya dan menyenangkan. Sehingga dalam penokohannya dikatakan melalui tangannya banyak lahir santriwati yang hafal al-Qur`an (hlm. 43). Beliau juga sangat bijaksana dalam memberikan saran.
Rahmad seorang penjual kerupuk keliling yang dikirim oleh ibu nyai Sa`adah al-Hafidzah sebagai calon suami Zahrana. Ia digambarkan sebagai seorang yang memiliki akhlak yang baik serta tekun dalam beribadah. Tanggung jawabnya dapat diandalkan. Ia merupakan orang yang terjaga kejujurannya serta patuh terhadap guru. Oleh sebab itu, Rahmad dipilih sebagai orang yang pantas bersanding dengan Zahrana. Namun sebelum pesta penikahan digelar, Rahmad meninggal tertarak kereta api.
Ir, Merlin Siregar M.T. adalah pembantu dekan, ia adalah seorang pembantu dekan yang sangat tegas. Dibalik ketegasannya, ia adalah sesosok wanita yang lembut dan suka membantu.
Wati dan Lina di sini digambarkan sebagai seorang sahabat yang selalu ada untuk Zahrana. Mereka merupakan tokoh sederhana. Rasa simpati serta empati mereka sangat besar, disaat Zahrana rapuh karena cobaan yang datang bertubi-tubi, mereka berdua selalu ada dan memberikan motivasi hidup.

Latar
Dalam novel Takbir Cinta Zahrana dibangun dengan latar yang meliputi latar sosial, latar tempat dan latar spiritual. Latar tempat dapat menunjukkan lokasi terjadinya cerita. Adapun latar sosial dapat mendiskripsikan kondisi masyarakat di dalam novel Takbir Cinta Zahrana. Kemudian latar spiritual juga dapat menunjukkan kondisi spiritual (keagamaan) yang dimiliki para tokoh cerita. Setiap tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling melengkapi satu sama lain.

Latar Sosial
Dalam novel ini kehidupan sosialnya sudah terlihat begitu demokratis. Hal ini terlihat bahwa pengaruh pendidikan yang sudah merubah pola pikir mereka.
Hal ini tercermin pada orang tua Zahrana yang tidak melakukan diskriminasi kepada anaknya. Kehidupan anaknya sepenuhnya berada pada anaknya. ketidak ikut campuran orang tuanya mengenai urusan pernikahan anak semata wayangnya merupakan bentuk demokratis. Meskipun ayahnya pernah memberikan calon suami kepada Zahrana, tetapi keputusan tetap berada di tangannya. Orang tua Zahrana sama sekali tidak melakukan diskrimnasi.
Kemudian ibu nyai Sa`adah yang mencarikan jodoh untuknya, juga tidak memaksa bahwa Zahrana harus menikah dan menjatuhkan pilihannya terhadap Rahmad sang penjual kerupuk.
Lingkungan yang demokratis, sudah mulai tercermin pada Bangsa ini. Hal ini karena faktor pendikan yang sudah tersebar diseluruh Indonesia. Akan tetapi, sikap orang tua yang memaksa anaknya untuk selalu mengikuti keinginan mereka juga belum sepenuhnya terhapus.

Latar Tempat
Sebagian besar cerita Takbir Cinta Zahrana di Jawa Tengah. Kota semarang merupakan tempat di mana ia mengajar di sebuah Universitas swasta terkemuka. Akan tetapi, tak lama kemuadian ia pindah mengajar di STM Al-Fatah Mranggen, Demak, yang berada di bawah naungan Yayasan Pesantran Al-Fatah. Ia dan keluarganya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara.B-15. Adapun tokoh-tokoh yang lain tidak begitu jelas dipaparkan. Karena seringnya kejadian hanya di lokasi kampus, rumah Zahrana, sekolahan STM Al-Fatah dan RS. Roemani di mana Zahrana dirawat.

Latar Spiritual
Kondisi spiritual dalam novel ini begitu kental. Disini pengarang menunjukkannya bahwa seorang Zahrana yang terlambat menikah tak lantas putus asa sehingga dengan mudah memberikan keputusan terhadap para lelaki yang datang untuk melamarnya. Syarat atau kriteria Zahrana dalam memilih calon suami yang dapat dijadikan imam serta teladan bagi dirinya serta anak-anaknya. Walaupun di usianya yang dibilag sudah terlambat menikah, Zahrana tetap pada pendirianya, mencari suami yang shaleh.
Disaat Zahrana kehilangan calon suaminya, ia tetap tabah. Ia merasa Disinilah keteguhan iman Zahrana diuji bahwa Allah Maha Mengetahui takdir jodohnya.


Amanat

a) Menyadari begitu pentingnya pendidikan. Karna pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan suasana belajar yang secara aktif dapat mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
b) Kita harus menyadari bahwa hidup adalah proses. Sehingga kita tidak diperbolehkan memandang diri kita lebih baik daripada orang lain.
c) Kita harus memikirkan masak-masak untuk memutuskan sesuatu, walaupun itu menyakitkan kita.
d) Tidak menilai orang hanya dari fisik saja (tidak menilai seseorang baik itu titel maupun yang lainnya)
e) Harus memaksimalkan manfaat dan meminimalisir konflik.
f) Dalam hidup bersosial, kita dituntut untuk memiliki moral, serta sopan santun (berakhlak). Karena manusia diwajibkan mempunyai akhlak.
g) Sabar dalam menghadapi cobaan. Karena kita tidak tahu apa yang akan direncanakan oleh Allah kepada kita. Mungkin dengan adanya cobaan yang diberikan kepada kita, Allah sedang mempersiapkan kita menjadi hamba pilihannya yang Ia sayangi.
Untuk itu, kita tidak boleh berperasangka buruk kepada Allah. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan.
h) Tidak putus asa dalam berikhtiar mencari apa yang kita inginkan. Karena allah telah berfirman “walaa tay asuu min rahmatillah”. Terus berjuang tanpa menafikan Allah. Karena Allah selalu bersama hamban-Nya yang mau mengingatnya dimanapun berada.

Sudut pandang
Dalam novel ini, dilihat dari sudut pandangnya pengarang adalah merupakan seseorang yang tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita atau dapat disebut sebagai sudut pandang orang ke-3.

Hubungan Antar Unsur
Di atas telah dikemukakan bahwa tema sentral Takbir Cinta Zahrana adalah: “mencari jodoh yang shaleh” tema tersebut dibangun oleh masalah pokok: kriteria seorang suami untuk Zahrana. Dengan kehidupan lingkungan yang acapkali menjatuhkan pilihan berdasarkan kekayaan.
Untuk menghidupkan masalah dan tema tersebut tersebut dihadirkan tokoh, antara lain tokoh yang mendukung untuk mempunyai pasangan yang baik atau Shaleh (Zahrana, Bu nyai Sa`adah, Orang Tua Zahrana, Rahmad, Lina, Wati, dr Zulaiha, Nina, Hasan), tokoh yang Jahat—(Sukarman).
tokoh-tokoh yang mendukung untuk mempunyai pasangan yang baik atau Shaleh digambarkan dengan watak yang baik, bertutur kata sopan dan bijaksan, serta berperilaku mulia. Tidak jarang mereka kebaikan watak itu tercermin pada kesederhanaan dan keindahan paras seperti yang nampak pada tokoh Zahrana, Hasan, Lina, Nina dan Rahmad. Sementara itu, keburukan watak tokoh tercermin pada keburukan fisik seperti bpk Sukarman, yang menyeramkan dan menunjukkan bahwa wataknya kurang baik, bengis,dan (dengki hal. 17).
Tokoh-tokoh tersebut dihidupkan dalam setting daerah Jawa Tengah, tempat terjadinya peristiwa. Pemilihan latar ini sangat tepat untuk mendiskripsikan suatu peristiwa karena keadaan masyarakat Jawa Tengah yang masih kental dengan agama.
Penulis juga membangun permasalahan di dalamnya. Untuk memberikan kehidupan dalam cerita. Sehingga dapat memberikan hayalan bagi pembaca yang seolah-olah hadir didalamnya.
Kemudian latar tersebut dikembangkan lagi dengan inti peristiwa (amanat) yang ingin disampaikan oleh penulis. Kapada siapa amanat tersebut disampaikan.
Semua unsur yang dihadirkan di atas, untuk saling melengkapi satu sama lain, tidak berdiri sendiri dan saling berhubungan. Sehingga menjadikannya sebuah karya sastra yang indah.

Sabtu, 06 Desember 2008

Al-kalabazi
Nama lengkap beliau adalah abu bakar bin Abi Ishaq al-Kalabadzi. Tidak diperoleh pasti tentang kelahirannya. Akan tetapi nisbahnya dianggap sebagai merujuk kepada sebuah tempat Bukhara, yang bernama Kalabadz. Ia dimakamkan di Bukhara. Tahun wafatnya yang paling popular adalah 380/990 . Meskipun ada juga ang mengatakan bahwa ia wafat 384 H/994 M atau 385 H/995 M .
Hampir semua yang diketehui tentang ihwal pendidikan dan latar belakang profesionalnya adalah bahwa dia mempelajari hokum Islam dengan seorang faqih Hanafi bernama Muhammad bin Fadhl (w.319/913). Sebagai seorang sufi, Kalabadzi adalah seorang murid dari FAris Ibn Isa (w. + 340/951), seorang sahabat dari martir yang paling terkenal dalam dunia tasawuf, Hallaj.
Kalabadzi dikenal lantaran karyanya yang berjudul Al-Ta`arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawuf. Kitab ini mendapatkan penghargaan yang tinggi karena isinya yang cukup jelas dalam menguraikan ajaran-ajaran tasawuf sembari menguraikan bahwa tasawuf adalah sejalan dengan Islam ortodoks.
Penjelasan Kalabadzi memuat 75 pasal ringkas yang disusun dalam lima bagian: latar belakang umum kelahiran tasawuf, termasuk beberapa daftar pengarang dan sufi masyhur. 24 bab menegnai berbagai doktrin atau unsur keyakinan, 5-30; analisis cirri-ciri utama dari pedagogi sufi ihwal pengalaman dan pertumbuhan spiritual (31 – 51); dan terakhir, serangkaian pasal yang berorientas yang berorientasi praktis yang merinci pembuktian ajaran sufi (64-75).
Kababzi lebih tertarik pada penyediaan pandangan yang lebih luas atas doktrin-doktrin sufi. Sekalipun katalognya atas apa yang penulis sebut sebagai maqam dan hal tampak lebih maju, dia tidak mengaitkan secara eksplisit pada pertumbuhan tersebut. Dia juga memasukkan dua dari empat babnya tentang makrifat—Bab 21: tentang makrifat dan Bab 22: perbedaan pandangan tentang makrifat—di tengah-tengah masalah lainnya tentang lika-liku datar “doktrin-doktrin” sufi. Pada bab pertama, ia menekankan tidak memadainya akal dan kebutuhan pada Allah sebagai satu-satunya pandu meuju-Nya terhadap latar belakang itu, ia mengikuti pembedaan yang diberikan Junaid tentang dua aras makrifatullah. Aras pertama adalah penyingkapan dari Ilahi (ta`arruf), sedemkian sehingga Allah menganugerahi Ibrahim ketika Dia memperlihatkan kepadanya alam-alam malakut dari langit dan bumi (QS 6: 75-79). Dan aras rendah dari titah dan pelajaran adari Ilahi , di mana semua orang beriman sampai pada tingkat makrifat melalui kesadaran akan “tanda-tanda pada ufuk dan diri mereka sendiri”.
Dia juga memulai dengan perbedaaan yang menarik lainnya antara dua corak makrifat: makrifat kebenaran, yang melibatkan kebenaran keesaan Ilahi: dan kebenaran terhadap realitas spiritual puncak (haqiqah), yang mencakup bahwa realisasi bahwa pengetahuan semacam itu merupakan karunia murni dan tidak bisa dicapai melalui nalar. Akhirnya bab 62 mendiskusikan “penjelasan tentang orang yang dikaruniai makrifat” menekankan kualitas kekacauan dan ketidak cukupan nalar, tetapi tetapi itu tidak memilih salah satu nalar deskripsi yang terpapar.



Abu Thalib Al-Makki

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki al-Harits al- Maliki. Beliau merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awall abad pertengahan yang cukup berpengaruh . Beliau wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M. dan sekali lagi, makamnyapun masih belum jelas keberadaanya.
Kapan beliau dilahirkan tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi beliau tumbuh Makkah abad ke-10, sebagian yang lain mengatakan beliau dilahirkan diJabal yaitu daeerah antara Baghdad dan Wasith.
Kehidupan dan pendidikan yang dijalan oleh Abu Thalib al-Makki tidaklah banyak disebutkan di dalam sejarahnya para tokoh Sufi.
Beliau merupakan tokoh sufi yang sangat tekun dalam mengkaji ilmu agama, sehingga balia nampak banyak memiliki ilmu agama. Penguasaannya dalam bidang agama sudah tidak diragukan lagi. Dalam menimba ilmu beliau banyak berguru kepada orang-orang alim. Seperti; Syekh Ali bin Ahmad bin al-Mashri, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-jarajarini al-Mufid dan kepada Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Ibnu Ahmad bin Salim al-Shaghir, di mana beliau memperdalam ilmu tasawufnya.
Ajaran tasawuf yang beliau pelajari ialah Taswuf Salafiyah beliau mendalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq. Kemudian setelah belajar tasawuf yang dibawanya banyak diikuti oleh oleh masyarakat Basrah dan umat islam saat itu. Karena tasawuf beliau bersumber dari Tasawuf Sahab bin Abdullah al-Tistari.
Akan tetapi, beliau mengalami kesulitan di dalam mengembangkan ajarannya karena penduduk Basrah dalam kehidupan tasawufnya banyak yang enganut aliran Salimiyah sedangkan penduduk Baghdad kehidupan tasawufnya mengikuti aliran junaidiyah. Oleh sebab itu anu thalib al-makki dilarang untuk mengembangkan tasawufnya dikota Baghdad karena telah terjadi perbedaan.
Sebagai seorang Sufi, Ia memiliki dasar-dasar pemikiran yang telah dikembangkannya—Pemikiran beliau banyak termaktub dalam karya monumentalnya yaitu; Qut al-quluub fi mu`allamatil mahbub wa washf thariq al-muriid ila maqaam al-tauhiid, yang banyak dibaca secara luas dan dianjurkan selama beberapa abad.
Dalam buku tersebut al-Makki mencoba menggambarkan makrifat tidak melakukan dalam konteks mencari pengetahuan yang lebih besar, tetapi dia melakukan perhatian epistemologis atas seluruh fondasi karyanya. Ia juga menncirikan dua subember makrifat, yakni pendengaran (yang dengannya seseorang menjadi muslim) dan penglihatan ( penyaksian kontemplatif, musayahadah).
Dalam pengetahuannya tentang makrifat ia juga mengidentikkan pengetahuan dengan iman, ketakwaan dan kualitas spiritual lainnya. Ia juga menjelaskan “sosiologi makrifat” yang memaparkan secara luas, yang sebenarnya, hubungan mereka dengan para nabi, dan ganjaran bagi mereka yang menyalah gunakan pengetahuannya mereka untuk keutuhan duniawi.

Formalisme dan Strukturalisme

Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses pelaksanaannya.

Hubungan karta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme yang telah berhasil memasuki hamper seluruh bidang manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara histories, perkembangangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu; formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandungciri-ciri khas dari tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini tentang karakteristik formalisme, analisis formalisme, prinsip strukturalisme dan kelebihan serta kelemahan dari strukturalisme.

Karakteristik Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut,
a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi dan psikologi.
Dapat dikatakan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjukkan beberapa disiplin ilmu yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat melalui Emmanuel Kant (1724—1808), mulai mempetimbangkann melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objetivitas dan keniscayaan pengertian, di pihak lain juga menerima pengertian bertolak dari gejala-gejala.
Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikianjuga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahamidalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai system komunikasi berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologi formalisme berasal dari Forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isioleh karena itulah cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern . Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana sastra dipelajari, melainkan lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri. Metode formal yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan caramemaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang teorganisirkan.
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung¬―pada hubungan dan karespondensi yang tidak terbatas―yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)―yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan bentuk dan isi, fabula dan sjuzet , otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan merupakan cirri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intrinsic antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahsa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraan yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra.

Prinsip Strukturalisme
Secara etimologis struktur berasal dari kaa structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal mula kata strukturalisme, seperti yang dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedy, lebih khusus lagu dalam pembicaraannya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki cirri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 12—134). Perubahan pardigma yang mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan perioritas terhadap karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915—1930), strukturalisme Prahara (1940-an), dan sekitar 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an)
Strukturalisme sebagaimana yang mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak lain metode berarti prosedur ilmiyah yang relative baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas dengan mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berpikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalismedisempuranakan kembali dalam strukturalisme genetic, resepsi, interteks dan akhirnya pasca strukturalisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Dalam menjelaskan bahasa, Saussure mengemukakan bahwa bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan tanda-tanda lampu lalulintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya di asosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar di hubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucalut, Gerar Genette. Sebagian besar mereka memasuki era baru dalam teori postrukturalis.
Secara definitive strukturalisme adalah paham menegnai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di suatu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, di pihak yang lainhubungan antara unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan denga system. Dengan demikian struktur menunjukkan pada kata benda, sedangkan system menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjukkan unsur-insur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan system. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur hanyalah agregasi.
Perkembangan ilmu pengetatahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi dalam sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan mematikan konsep pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Analisis Formalisme
Analisis formalis, lebih menekankan pada hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Fokus analisis adalah pada efek-efek estetika yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana kesastraan dibedakan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia ke dalam bentuk khusus. Misalnya pada contoh dibawah ini:
Narasi Dua Puisi Air, si “Tukang Air”.
Dua puisi Eka Budianta yang berjudul Hanya Untuk Sungai dan Hidup Seribu Sungai, dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Masih Bersama Langit”, merupakan dua puisi yang saling berkaitan. Dan apabila puisi itu dijadikan satu maka akan membentuk satu naratif yang menceritakan perjalanan air dari sungai sampai kemudian mereka menjadi satu di laut.
Simak puisi pertama si ‘tukang air’ ini, yang berjudul Hanya Untuk Sungai;
Tiba-tiba sungai itu teringat laut// sungai mana tak boleh pergi ke laut// sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah// alam pun pucat menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//
Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-lampu terjaga// dan penyair menyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai lautnya//
Sebelum masuk dalam ranah lebih luas lagi, karena ini merupakan analisis formalis, maka kami akan mencari satu hal yang mendominasi puisi ini. Dia adalah sungai dan kemudian saya persepsikan sungai sebagai air, menggingat sungai masih sangat luas.
Dalam penelitian Formalisme, penekanan penelitiannya hanya dalam cerita (fabula), alur (sjuzet), dan motif (Fokkem & Kunne-Ibsch via Endraswara, 2004: 48). Jika diteliti menurut kacamata seorang formalis, puisi diatas juga mengandung unsur-unsur yang dikatakan oleh Fokkem dan Kunne-Ibsch.
Perjalanan ‘Air’ berawal ketika dirinya teringat tentang laut, saat dia masih di sungai. Seperti satu kalimat pembuka dalam puisinya itu, “Tiba-tiba sungai itu teringat laut”. Namun, perjalanan air itu harus mengalami beberapa kendala, dalam hal ini si Tukang Air maksud saya penyair, menggambarkan kendala-kendala yang harus dihadapi air untuk sampai laut. Dan hambatan ini, karena ulah manusia. Dalam kodratnya, air dimuka bumi ini harusnya mengalami sebuah siklus hidrologi, dimana mereka akan menjadi uap, awan, kemudian hujan yang turun kebumi dan ditampung tanah serta sungai, lalu kemudian mengalir ke lautan bebas untuk kembali menjadi uap.
Dalam puisi itu, air tidak bisa mengalir ke laut karena manusia telah membikin waduk-waduk, membuat pabrik dengan mengeringkan sungai, mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sungai, sehingga sungai-sungai tidak bisa menjadi ‘jalan’ air ke lautan lepas. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam, sebagai akibat terganggunya siklus mereka.
Hal itu seperti dalam kalimat; sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah//. Mungkin karena siklus dari Tuhan ini diputus dan dirusak manusia, maka kemudian Tuhan marah, seperti yang tersirat dalam kalimat ini, alam pun pucat menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//. Akibatnya Tuhan mengirimkan bencana bagi umat manusia secara bertubi-tubi.
Sebagai tukang air, penyair sepertinya merasa berdosa atas kerusakan yang dia dan manusia timbulkan terhadap keberadaan air di sungai. Si penyair kemudian menulis, Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-lampu terjaga. Dan si tukang air ini merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan semuanya seperti sedia kala, karena dia juga seorang penyair, maka ia akan menulis puisi yang bisa menyentuh moral pembaca. Dan penyair menbyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai lautnya//
Puisi kedua berjudul Hidup Seribu Sungai, yang berada di lain halaman ternyata memiliki kesamaan alur, sehingga dapat dipastikan puisi itu merupakan lanjutan dari puisi si ‘tukang air’ yang pertama.
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Mungkin sudah digariskan/ aku mesti menyusuri hidup sendiri/ meskipun mungkin/ hanya mungkin kita akan berkumpul di laut//
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ kamu tak akan mengenaliku/ begitu banyak rahasia/ begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu//
Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang kucintai//
Dalam puisinya yang kedua ini, penyair kembali menceritakan perjalanan air dari sungai ke laut, namun dari sudut pandang berbeda. Jika di puisi pertamanya si tukang air menceritakan duka air yang terjebak di sungai tidak bisa kembali ke laut, untuk meneruskan ceritanya. Lantas, dalam puisinya yang kedua ini, penyair ingin menggambarkan penyesalan dan penyesalan semua orang yang telah melupakan keberadaan air di sungai.
Sayangnya penyesalan penyair datang terlambat, air yang dijumpainya dulu sangat jernih dan selalu bergemericik di sela-sela bebatuan gunung. Kini penyair hanya menjumpai air yang semakin keruh, bercampur limbah-limbah pabrik, dan hampir dia tak mengenalinya, seperti yang ditulis penyair, Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Telah banyak perubahan dan kesedihan yang dialami air, ketika harus melakukan siklus perjalanan dari sungai ke laut. Dan ironisnya, perubahan itu disebabkan oleh kita selaku manusia, lebih ironis lagi, perbuatan-perbuatan kita terhadap alam khususnya air seringkali tidak bersifat konservatif melainkan eksploitatif. Begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu.
Sebagai penyair, manusia, dan tukang air—Eka Budianta—tak ingin lepas tanggung jawab mengenai masalah ini. Lewat Yayasan Sahabat Aqua, Eka Budianta ingin memobilisasi kesadaran publik agar secara kolektik melakukan kegiatan positif untuk air. Dan inilah tantangan seorang penyair bagaimana menemukan kata-kata untuk menggerakkan kesadaran manusia, dengan cara berfikir jernih dan lancar seperti air. Seperti bait penutup dalam puisi keduanya; Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang kucintai.

Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan formalisme. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurna strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsic, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan felik Vodicka (Fokkema, 1977:31). Menurutnya karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah karya seni harus dikembalikan pada kompetensi menulis.
Strukturalisme memberikan perhatian terhadapa analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsure yang berbeda. Disamping sebagai abibat cirri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsure juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki cirri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Meskipun deikianperlu dikemukakan unsure-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: tema, peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan, plot, sudut pandang.
Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikmeukakan oleh para penemunya. Teoripun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemempuan peneliti. Teori memiliki funsi statis sekaligus dinamis. Aspek pastinya adalah dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan, dan totalilasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berkembang secara terus menerus, sehingga penelitian yang stu berbeda dengan penelitian yang lain.
Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori atau metode, cirri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana perlu adanya suatu keteraturan,suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran komunikasi, kerangka dan model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.

Minggu, 30 November 2008

Jumat, 14 November 2008

Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat dan Ajarannya

Tasawuf Sunni (moderat) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya, mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya. Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini (Tasawuf) terikat dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendatnya, mereka mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah .
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak. Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri, Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti, al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
Tasawuf ini juga dinamakan tasawuf nazhori (teori), demikian, karena tasawuf Islam terbagi kepada nazhari dan amali (praktek). Dan hal ini tidak berarti bahwa tasawuf nazhori ini kosong dari sisi praktis. Istilah teori ini hanya melambangkan bahwa tasawuf belum menjadi bentuk thoreqoh (tarbiyah kolekltif) secara terorganisir seperti toreqoh yang terjadi sekarang ini.
Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas secara singkat biografi para sufi yang tergolong sufi moderat (Sunni). Adapun keterangannya akan kami jelaskan di bawah ini:
1. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tukoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i .
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan.
Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
2. Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M .
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana. Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu ‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain. Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy. Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M. Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini, lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412 H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M, belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn Muhammad al-Ashfarayain .
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf -dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092 M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan. Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian. (lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi, Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
3. Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ; dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah. Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu seorang nabi atau wali

Jumat, 04 Juli 2008

Jilbab

Perlu diketahui bahwa di Timur Tengah, tepatnya di Mesir cadar dipakai oleh kalangan wanita-wanita maju dan kaya serta menengah sekitar awal abad XX. Nampaknya benih perubahan di seantero Mesir telah terlihat setelah semakin banyak cendekiawan Mesir yang berkunjung dan belajar di Eropa, khususnya Perancis, lalu mereka kembali dengan membawa pemikiran baru yang selama ini belum dikenal oleh negeri-negeri islam, termasuk Mesir. Di bawah pimpinan Napoleon (1798-1801 M), banyak wanita-wanita muslim yang menanggalkan pakaian tertutup akibat pergaulan bebas, akan tetapi belum ada seruan (ajakan) yang secara sistematis atas nama ajaran Islam agar mereka (kaum Hawa) menanggalkan pakaian tertutup mereka.
Pandangan baru yang mengajak secara terbuka dan dilakukan secara terang dimulai sekembalinya para cendikiawan Mesir yang telah menyelesaikan studi mereka di Perancis. Adalah Qasim Amin (1803-1908 M) yang paling populer dalam konteks perempuan, sehingga ia mendapat julukan “Pembebas Permpuan”.
Menurutnya, tidak ada suatu ketetapan atau Nash dari agama yang mewajibkan dalam hal jilbab sebagaimana yang telah dikenal oleh masyarakat Mesir. Menurutnya jilbab yang mereka gunakan adalah adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan masyarakat mesir (Islam) dengan bangsa lain, yang mereka anggap baik dan karena itu mereka menirunya dan kemudian menilainya sebagai tuntunan dari ajaran mereka.
Dalam hal ini Qasim Amin banyak menulis pemikirannya yang ia torehkan dan dikemas dalam sebuah buku yang berjudul Tahrir al-Mar`ah. Karya beliau ini dinilai oleh banyak pakar sebagai suatu buku yang memuat banyak hal yang tidak mudah dipaparkan kecuali oleh mereka yang benar-benar paham tentang ajaran Islam. Sedangkan Qasim Amin, dinilai sebagai orang yang bukan termasuk pakar dalam ilmu keislaman. Banyak yang menduga buku yang diatasnamakan beliau adalah merupakan karya Syekh Muhammad Abduh.
Beliau (Syekh Muhammad Abduh)—yang pada waktu itu beliau adalah seorang mufti Mesir—banyak memberi dukungan kepada Qasim Amin dalam bentuk persetujuan tentang buku Tahrir al-Mar`ah. Pada waktu itu, beliau tidak mengeluarkan fatwa mengenai karya muridnya tersebut yang menyangkut pakaian atau aurat wanita karena masyarakat belum siap menerima pandangan tersebut. Ketika itu Syekh Muhammad Abduh agaknya cukup mendukung secara diam-diam pandangan pandangan Qasim Amin. Murid utama dan sahabat dari syekh Muhammad Abduh—Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membenarkan sikab gurunya yang tidak memberikan fatwa pada waktu itu.
Menurut Rasyid Ridha, apabila fatwa Syekh Muhammad Abduh dikeluarkan, maka itu berdasarkan imam Abu Hanifah, karena beliau diangkat pemerintah menjadi Mufti untuk memberi fatwa dalam bentuk itu tersebut, padahal ada madzhab-madzhab lain yang membolehkan perempuan membuka wajah dan kedua tangannnya serta membolehkan berinterkasi dengan lelaki selama tidak dalam keadaan khalwat (berduaan) dan inilah yang dimaksud oleh buku Qasim Amin itu ketika ia mengusilkan pembatalan hijab.
Disisi lain memang syekh Muhammad Abduh adalah seseorang yang diakui kedalaman ilmunya oleh al-Azhar Cairo. Akan tetapi, tidak semua pendapatnya disetujui, didukung—termasuk menyangkut pakaian wanita—oleh para ulama al-Azhar. Disini saya pribadi hanya ingin memaparkan bahwa ada juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut bahkan mencetuskan pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama-ulama terdahulu.

Kamis, 19 Juni 2008

جــوامـــع الاستغفـــار

جــوامـــع الاستغفـــار

اللهم صلي وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد كما صليت وسلمت على سيدنا إبراهيم وعلى آل سيدنا إبراهيم في العالمين إنك حميد مجيد ..

@ أستغفر الله العظيم الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه وأسأله التوبة والمغفرة ..

@ أستغفر الله العظيم الذي لا إله إلا هو الحي القيوم وأتوب إليه توبة عبد ظالم لا يملك لنفسه ضرا ولا نفعا ولا موتا ولا حياة ولا نشورا..

@ اللهم مغفرتك أوسع من ذنوبي ، ورحمتك أرجي عندي من عملي. سبحانك لا إله غيرك أغفر لي ذنبي وأصلح لي عملي إنك تغفر الذنوب لمن تشاء. وأنت الغفور الرحيم يا غفار أغفر لي يا تواب تب علي يا رحمن أرحمني يا عفو أعفو عني يا رؤف أرأف بي..

@ اللهم أغفر لي جدي وهزلي وخطئي وعمدي وكل ذلك عندي..

@ اللهم إني أستغفرك من كل ذنب أذنبته وتعمدته أو جهلته. وأستغفرك من كل الذنوب التي لا يعلمها غيرك ، ولا يسعها إلا حلمك..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يعقب الحسرة. ويورث الندامة ويحبس الرزق ويرد الدعاء..

@ اللهم إني أستغفرك من كل ذنب تبت منه ثم عدت إليه. وأستغفرك من النعم التي أنعمت بها علي فأستعنت بها على معاصيك. وأستغفرك من الذنوب التي لا يطلع عليها أحد سواك. ولا ينجيني منها أحد غيرك. ولا يسعها إلا حلمك وكرمك ولا ينجيني منها إلا عفوك..

@ اللهم إني أستغفرك وأتوب إليك من كل ذنب أذنبته ولكل معصية أرتكبتها. فأغفر لي يا أرحم الراحمين..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يدعو إلى غضبك أو يدني إلى سخطك أو يمل بي إلى ما نهيتني عنه أو يبعدني عما دعوتني إليه..

@ اللهم إني أستغفرك من كل ذنب يصرف عني رحمتك أو يحل بي نقمتك أو يحرمني كرامتك أو يزيل عني نعمتك..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يزيل النعم ويحل النقم ويهتك الحُرَم ويورث الندم ويطيل السقم ويعجل الألم..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يمحق الحسنات ويضاعف السيئات ويحل النقمات ويغضبك يا رب الأرض والسماوات..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يكون في إجترائه قَطْعُ الرجاء ورد الدعاء وتوارد البلاء وترادف الهموم وتضاعف الغموم..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يرُدُّ عنك دعائي ويقطع منك رجائي ويطيل في سخطك عنائي ويقصر بي عنك أملي..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يميت القلب ويشعل الكرب ويشغل الفكر ويرضي الشيطان ويسخط الرحمن..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يعقب اليأس من رحمتك والقنوط من مغفرتك والحرمان من سعة ما عندك..

@ اللهم إني أستغفرك من كل ذنب يدعو إلى الكفر ويورث الفقر ويجلب العسر ويصد عن الخير ويهتك الستر ويمنع الستر..

@ اللهم إني أستغفرك لكل ذنب يدني الآجال ويقطع الآمال ويشين الأعمال..

@ اللهم إني أستغفرك يا عالم الغيب والشهادة من كل ذنب آتيته في ضياء النهار وسواد الليل وفي ملأٍ وخلاءٍ وسرٍ وعلانية يا حليم..

@ اللهم أغفر لي ذنبي مغفرة أنسى بها كل شئ سواك ، وهب لي تقواك وأجعلني ممن يحبك ويخشاك..

@ اللهم إني مستغيث أستمطر رحمتك الواسعة من خزائن جودك ، فأغثني يا رحمن. لا إله إلا أنت سبحانك وبحمدك ظلمت نفسي فأرحمني إنك أرحم الراحمين..

@ يا من إذا عظٌمت على عبده الذنوب وكثرة العيوب ، فقطرة من سحائب كرمك لا تبقي له ذنبا ، ونظرةُُ من رضاك لا تترك له عيباً ، أسألك يا مولاي أن تتوب علي وتغفر لي..

منقـــولة فجزى الله خيراً من كتبها وأعدها ونشرها

أذكـــــار وأدعية المسجد : الذهاب ، الدخول ، الخروج

أذكار الـيــــوم واللـــيــلـــة

أذكـــــار وأدعية المسجد : الذهاب ، الدخول ، الخروج

دعاء الذهاب إلى المسجد :


-
اللهم اجعل في قلبي نورا وفي لساني نورا وأجعل في سمعي نورا وأجعل في بصري نورا وأجعل من خلفي نورا ومن أمامي نورا وأجعل من فوقي نورا وأجعل من تحتي نورا اللهم أعطني نورا ..


دعاء الدخول إلى المسجد :


ويستحب أن يدخل المسلم إلى المسجد برجله اليمنى ويستفتح بالصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم ..


ـ "
أعوذ بالله العظيم، وبوجهه الكريم، وسلطانه القويم من الشيطان الرجيم".


-
اللهم إغفر لى ذنوبى ، اللهم إنى أسألك من فضلك ، اللهم إعصمنى من الشيطان ..


ـ
اللهم صل على محمد وعلى آل محمد، رب اغفر لي ذنوبي وافتح لي أبواب رحمتك.



دعاء الخروج من المسجد :


عند الخروج من المسجد يخرج المسلم برجله اليسرى ويقول :


بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله، اللهم إني أسألك من فضلك، اللهم اعصمني من الشيطان الرجيم.

Rabu, 11 Juni 2008

Shalat Istikharah

قال النبي صلى الله عليه وسلم:

إذَا أهمَّ أحدُكم بالأمرِ فليَركَع رَكعَتَينِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيْضَةِ

v Pada raka`at yang pertama membaca surat Al-Qadar dan Al-Kafirun dan di tambah ayat di bawah ini:

وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الخِيَرَه. سُبْحَانَ اللهِ عَمَّا يُشرِكُوْنَ.

v Pada raka`at yang kedua setelah membaca surat al-fatihah langsung membaca surat Al-Insyirah dan Al-Ikhlas. Kemudian ditambah dengan ayat di bawah ini:

مَا يَكُوْنُ لِمُؤْمِنٍ وَلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قُضَى اللهُ وَرَسُوْلَُهُ أَمْرًا أَن يَكَوْنَ لَهُمُ الخِيَرَةِ مِنْ أَمْرِهِم وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِيْنًا.

v Setelah selesai shalat, maka hadiahkanlah surat al-Fatihah untuk:

® Nabi Muhammad saw.

® Mu`adz bin Jabbal

® Zaid bin Tsabit

® Ibnu `Abbas

® على هذه النية ولكلِّ نية ٍصالحَة

v Setelah itu, bacalah xيا لَطِيف 129

v Do`a

اللهمَّ إني أَستَخِيرُكَ بِعِلمِكَ وَأَستََقْدِركَ بِقُدْرَتِكَ وَأسْأَلُكَ مِن فَضْلِكَ العَظِيمِ. فإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقدِرُ وَتَعْلَم وَلاَ أَعْلَمُ وَأَنتَ عَلاَّمُ الغُيُوبِ. اللهُمَّ إِن كُنتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَالأَمْرَ (حاجتك) خَيْرٌٌٌٌ لِي فِي دِينِي وَمَعاَشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاقْدِرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ. وَإِن كٌُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَالأمرَ شَرٌّ لِي فَِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاقْدِرْهُ لِي خَيْرٌحَيْثُ كَانَ رَضِيَنِي بِهِ. (رواه مسلم)

v Kemudian buka al-Qur`an bagian mana saja. Pilih halaman di sebelah kanan baris nomor tujuh. (insyaallah)

Jumlah Huruf Al-Qur'an

Gairah intelektualitas para Ulama masa lalu memang membikin kita mengeleng-gelengkan kepala. Banyak kita jumpai karya-karya spektakuler yang jarang kita dapatkan pada zaman ketika gairah intelektualitas umat Islam menurun. Terkadang sesuatu yang kita tidak anggap penting, namun ternyata tidak luput dari ide-ide kreatif yang mereka ciptakan.

Dan ternyata hal-hal yang dianggap tidak penting itu memiliki tempat khusus di dalam hati para generasi berikutnya. Bahkan, juga kadang menjadi data penting yang cukup jarang diketahui. Karena tidak jarang, walaupun masa ini telah ditopang dengan kecanggihan teknologi, ternyata masih harus pasrah hanya dengan gelengan kepala, mengingat situasi teknologi zaman dulu masih tidak secanggih saat ini.

Salah satunya hasil penelitian seorang sekaliber Imam an-Nasafi yang meneliti jumlah huruf dalam kitab suci al-Qur?an!.

Kalau yang dihitung adalah jumlah surat atau kalimat, masih mending. Tapi kalau menghitung jumlah huruf, cukup ruwet juga, 'kan? Dan ternyata itu yang dilakukan oleh an-Nasafi.

Hasil penelitiannya ini ditulis dalam kitab Majmu al Ulum wa Mathli?u an Nujum dan dikutip oleh Imam Ibn Arabi dalam mukaddimah al-Futuhuat al Ilahiyah karangannya sendiri. Berikut ini uraiannya dan huruf-huruf diurut sesuai dengan banyaknya: Alif : 48740 huruf, Lam : 33922 huruf, Mim : 28922 huruf, Ha : 26925 huruf, Ya? : 25717 huruf, Wawu : 25506 huruf, Nun : 17000 huruf, Lam alif : 14707 huruf, Ba : 11420 huruf, Tsa? : 10480 huruf, Fa? : 9813 huruf, ?Ain : 9470 huruf, Qaf : 8099 huruf, Kaf : 8022 huruf, Dal : 5998 huruf, Sin : 5799 huruf, Dzal : 4934 huruf, Ha : 4138 huruf, Jim : 3322 huruf, Shad : 2780 huruf, Ra? : 2206 huruf, Syin : 2115 huruf, Dhadl : 1822 huruf, Zai : 1680 huruf, Kha? : 1503 huruf, Ta? : 1404 huruf, Ghain : 1229 huruf, Tha? : 1204 huruf dan terakhir Dza? : 842 huruf. Jumlah total semua huruf dalam al-Qur?an sebanyak satu juta dua puluh tujuh ribu. Jumlah total ini sudah termasuk jumlah huruf ayat yang di-nusakh.

Cara Efektif Menghilangkan Sifat Hasud

Kata hasud berasal dari bahasa Arab Hasada—yahsudu—Hasadan, yang artinya iri hati atau dengki. Sifat hasud ini amatlah buruk apabila berada dalam diri seseorang. Tidak lain tujuan pembahasan ini adalah agar kita mempunyai rasa syukur terhadap Tuhan atas karunia dan rahmat yang telah diberikan terhadap kita. Tanpa merasa kurang atas pemberian-Nya.

Sifat hasud amatlah berbahaya. Sifat Hasud dapat menyerang siapapun, kapanpun, dan dimanapun tanpa pandang bulu, ras dan agama.

Rasulullah s.a.w. bersabda;

“Terdapat tiga perkara yang dapat merusak seseorang yaitu sifat bakhil yang dituruti, nasfu yang dituruti dan merasa bangga dengan dirinya sendiri”.

Tanpa disadari sifat hasud adalah merupakan dampak dari kekikiran, sifat yangmana seseorang tidak ingin berbagi atau membagi rizki yang dimilikinya terhadap sesamanya. Sedangkan Syakhikh adalah sifat yangmana seseorang tidak rela apabila nikmat Allah terlimpah kepada orang lain, dan ia berharap agar orang lain tidak mendapatkannya. Sifat Syakhikh ini lebih bruk daripada sifat kikir—bukan berarti sifat kikir itu baik. Sedangkan orang yang hasud adalah orang yang tidak rela terhadap seseorang apabila seseorang tersebut mendapatkan nikmat dari Tuhan baik berupa harta ilmu, kekuasaan, sanjungan dan sebagainya, dan ia berharap agar seseorang tidak mendapatkanya, walaupun nikmat itu tidak jatuh kepada dirinya.

Rasulullah bersabda;

‘Hasud itu memakan pahala amal baik sebagaimana api memakan kayu bakar”.

Betapa bahayanya apabila sifat ini berada pada diri kita. Dan orang yang senantiasa bersifat hasud maka ia senantiasa tersiksa di dunia dan di akhirat, didunia ia akan senantiasa tersiksa batinya karena tidak rela nikmat-Nya jatuh kepada orang lain dan di akhirat ia akan mendapatkan siksaan yang pedih atas apa yang ia perbuat.

Dala kitab Arba`in Nawâwiy dijelaskan bahwa tidaklah sempurna iman seseorang hingga ia mencitai saudaranya (seagama) sabagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Dari keterangan di atas dapatlah disimpulkan bahwa untuk menghilangkan sifat hasud seseorang haruslah menyayangi saudaranya yang lain. Sebab, orang islam satu dangan yang lain itu bagaikan satu bangunan, bagaikan satu jasad yang apabila salah satu anggota dari jasad tersebut terasa sakit maka bagian yang lainpun ikut merasakannya—begitupula dalam jasad terdapat bagian anggota tubuh yang bagian itu tidak pernah merasa iri terhadap bagian yang lain. Misal; Pernahkah tangan kanan anda iri terhadap tangan kiri karena memakai jamtangan atau perhiasan? Pernahkah bulu pada kaki anda iri terhaap rambut di kepala yang selalu terawatt kerapiannya? Subhanallah, Begitulah Allah `Azza wajalla memberikan contoh pada bagian tubuh ini. Hanya karena kemilau dunia ini telah mengotori hati, kita melupakan Ia. Kita lupa akan kebesaran-Nya.

Inilah sedikit goresan tiada makna, namun melalui goresan ini Allah mampu memberikan hidayah kepada orang-orang yang Ia kehendaki. Semoga kita adalah merupakan golongan tersebut. Amin.