Jumat, 04 Juli 2008

Jilbab

Perlu diketahui bahwa di Timur Tengah, tepatnya di Mesir cadar dipakai oleh kalangan wanita-wanita maju dan kaya serta menengah sekitar awal abad XX. Nampaknya benih perubahan di seantero Mesir telah terlihat setelah semakin banyak cendekiawan Mesir yang berkunjung dan belajar di Eropa, khususnya Perancis, lalu mereka kembali dengan membawa pemikiran baru yang selama ini belum dikenal oleh negeri-negeri islam, termasuk Mesir. Di bawah pimpinan Napoleon (1798-1801 M), banyak wanita-wanita muslim yang menanggalkan pakaian tertutup akibat pergaulan bebas, akan tetapi belum ada seruan (ajakan) yang secara sistematis atas nama ajaran Islam agar mereka (kaum Hawa) menanggalkan pakaian tertutup mereka.
Pandangan baru yang mengajak secara terbuka dan dilakukan secara terang dimulai sekembalinya para cendikiawan Mesir yang telah menyelesaikan studi mereka di Perancis. Adalah Qasim Amin (1803-1908 M) yang paling populer dalam konteks perempuan, sehingga ia mendapat julukan “Pembebas Permpuan”.
Menurutnya, tidak ada suatu ketetapan atau Nash dari agama yang mewajibkan dalam hal jilbab sebagaimana yang telah dikenal oleh masyarakat Mesir. Menurutnya jilbab yang mereka gunakan adalah adat kebiasaan yang lahir akibat pergaulan masyarakat mesir (Islam) dengan bangsa lain, yang mereka anggap baik dan karena itu mereka menirunya dan kemudian menilainya sebagai tuntunan dari ajaran mereka.
Dalam hal ini Qasim Amin banyak menulis pemikirannya yang ia torehkan dan dikemas dalam sebuah buku yang berjudul Tahrir al-Mar`ah. Karya beliau ini dinilai oleh banyak pakar sebagai suatu buku yang memuat banyak hal yang tidak mudah dipaparkan kecuali oleh mereka yang benar-benar paham tentang ajaran Islam. Sedangkan Qasim Amin, dinilai sebagai orang yang bukan termasuk pakar dalam ilmu keislaman. Banyak yang menduga buku yang diatasnamakan beliau adalah merupakan karya Syekh Muhammad Abduh.
Beliau (Syekh Muhammad Abduh)—yang pada waktu itu beliau adalah seorang mufti Mesir—banyak memberi dukungan kepada Qasim Amin dalam bentuk persetujuan tentang buku Tahrir al-Mar`ah. Pada waktu itu, beliau tidak mengeluarkan fatwa mengenai karya muridnya tersebut yang menyangkut pakaian atau aurat wanita karena masyarakat belum siap menerima pandangan tersebut. Ketika itu Syekh Muhammad Abduh agaknya cukup mendukung secara diam-diam pandangan pandangan Qasim Amin. Murid utama dan sahabat dari syekh Muhammad Abduh—Sayyid Muhammad Rasyid Ridha membenarkan sikab gurunya yang tidak memberikan fatwa pada waktu itu.
Menurut Rasyid Ridha, apabila fatwa Syekh Muhammad Abduh dikeluarkan, maka itu berdasarkan imam Abu Hanifah, karena beliau diangkat pemerintah menjadi Mufti untuk memberi fatwa dalam bentuk itu tersebut, padahal ada madzhab-madzhab lain yang membolehkan perempuan membuka wajah dan kedua tangannnya serta membolehkan berinterkasi dengan lelaki selama tidak dalam keadaan khalwat (berduaan) dan inilah yang dimaksud oleh buku Qasim Amin itu ketika ia mengusilkan pembatalan hijab.
Disisi lain memang syekh Muhammad Abduh adalah seseorang yang diakui kedalaman ilmunya oleh al-Azhar Cairo. Akan tetapi, tidak semua pendapatnya disetujui, didukung—termasuk menyangkut pakaian wanita—oleh para ulama al-Azhar. Disini saya pribadi hanya ingin memaparkan bahwa ada juga ulama-ulama yang diakui otoritasnya yang menganut bahkan mencetuskan pendapat yang berbeda dengan pendapat ulama-ulama terdahulu.