Jumat, 12 Desember 2008

TAKBIR CINTA ZAHRANA

STRUKTUR NOVEL
“TAKBIR CINTA ZAHRANA”


Masalah
Novel Takbir Cinta Zahrana mengemukakan kehidupan yang cukup kompleks. Hal ini ditunjukkan oleh pengarangnya bahwa banyaknya masalah yang dihadirkan baik dalam laku atau pun percakapan antar tokoh yang bersangkutan dalam cerita tersebut, yang mana dengan hadirnya masalah tersebut, menurut hemat saya justru melengkapi isi dalam cerita tanpa memisahkan satu dengan yang lainnya. Membentuk keindahan sutau karya yang nikmat untuk dibaca.
Masalah-masalah tersebut timbul dalam kehidupan Zahrana, seorang wanita yang dapat dikatakan telah terlambat menikah. hal ini tentu menjadi permasalahan yang cukup pelik ketika seorang wanita di usianya yang lebih dari kepala tiga belum kunjung menemukan tambatan hatinya.
Masalah yang pertama dalam novel ini adalah “keteguhan prinsip untuk mencari jodoh yang sesuai dengan hati Zahrana”. Arti ”prinsip” dalam bahasa yang dapat dicerna. Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka, edisi ketiga menjelaskan ”prinsip ialah kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir. Prinsip dasar manusia merupakan hal yang mendasari sepakterjang seseorang. Akan tetapi, prinsip jua sering tergoyahkan oleh materi terutama uang. Sejauh mana sebuah prinsip itu dibangun? kaku atau tegas atau mungkin fleksibel? yang penting orang suka atau bagaimanakah?
Di dalam novel Takbir Cinta Zahrana tokoh-tokoh yang secara pribadi saya anggap mempunyai keteguhan prinsip adalah Zahrana, Lina, Wati, Rahmad Serta Hasan (merupakan pemuda dan Pemudi yang dapat di andalkan keteguhan prinsip mereka). Keteguhan prinsip kehidupan dimungkinkan karena latar belakang mereka yang telah mengenyam pendidikan, walaupun ada beberapa tokoh seperti Rahmad yang tidak sampai menegenyam pendidikan ke perguruan tinggi. akan tetapi, Rahmad mempunyai keteguhan prinsip kehidupan untuk berbakti kepada Kiyai.
Zahrana merupakan tokoh utama dalam novel ini, yang digambarkan dengan seorang wanita yang mempunyai keteguhan prinsip. Prinsip bahwa ia akan mencari seorang yang dapat menjadi imam bagi kedupannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata keteguhan hati Zahrana di coba oleh Sang Maha Kuasa. Di usia berkepala tiga, yang tidak lagi muda membuat lingkungan sekitanya kasihan terhadap dirinya. Orang tua Zahrana mencoba meluluhkan hati Zahrana ketika datang lamaran dari orang yang kaya raya, untuk segera menerima dan menikah serta tidak perlu menjunjung tinggi prinsip yang dianggap orang tua Zahrana salah. Hal ini dituturkan oleh pengarang pada halaman 18:
“kowe mikir opo Nduk? kowe ngenteni opo, Nduk? Dadine kapan kowe kawin?”
Perkataan sederhana, namun cukup memiliki kekuatan dahsyat untuk menggoyangkan prinsip Zahrana.
Masalah kedua adalah “ancaman serta teror dari lingkungan kerja Zahrana”. Masalah kedua ini timbul karena dipicu dari penolakan sebuah lamaran yang di ajukan Bpk. H Sukarman, M.Sc.—yang merupakan dekan fakultas Teknik di mana Zahrana mengajar—kepada Zahrana. Bpk Sukarman tidak terima, ia merasa di injak-injak harga dirinya karena Zahrana berani meolak lamarannya. Berbagai teror di gencarkannya untuk melukai hati Zahrana. Misalnya sebagaimana yang ada dalamkutipan di bawah ini:
“Apa kabar Perawan Tua?”
“Kepala itu semakin tua semakin tua semakin banyak santannya, banggalah jadi Perawan Tua!.”
Teror itu terus berlanjut hingga akhirnya Zahrana kehilangan calon suaminya yang meninggal karena ditabrak kereta api. Kematian Rahmad—calon suami Zahrana—mebuat ayah Zahrana mendapat serangan jantung. Seketika itu pun ayahnya menyusul calon suami Zahrana. Hal ini cukup membuat Zahrana stress berat. Zahrana hampir kehilangan semangat hidup.
Masalah ke tiga adalah “mahasiswa yang meminang dosen”. Bagi seorang wanita tentu agak terasa risik (tidak enak hati) jika calon suaminya berbeda jauh umurnya. Zahrana yang saat itu usianya sudah 34 mendapat tawaran menikah dari Hasan yang berumur 29—mahasiswanya sendiri.
Disini juga terjadi perdebatan yang sengit, antara ketetapan dalil baik dari al-Qur`an maupun Sunnah dengan rasionalitas. Memang terlihat aneh atau tidak serasi apabila mahasiswa menikah dengan dosen. Hal ini juga akan menimbulkan sisi tidak etis bagi sebagian lingkungan yang kurang berwawasan. Akan tetapi, semua hal itu dipatahkan oleh agama, bahwa tidak ada larangan seorang murid meminang atau menikahi dosennya. Karena memang tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa mahasiswa diharamkan meminang dosen.

Tema
Tema merupakan dasar cerita yang paling penting dari seluruh cerita. Tanpa tema, sebuah cerita rekaan tidak ada artinya sama sekali. Selain itu, tema juga merupakan tujuan cerita, atau ide pokok di dalam suatu cerita yang merupakan patokan untuk membangun suatu cerita. Dengan kata lain, tema adalah suatu unsur yang memandu seorang pengarang sebagai ide utama atau pemikiran pokok, ke mana sebuah cerita akan diarahkan.
Zahrana yang dalam perjalanan hidupnya mencari cinta. Cinta dunia dan akhirat. Cinta yang dapat mengantarkan dirinya serta anak-anaknya kelak menjadi keluarga yang seutuhnya. Bahagia dunia akhirat.
Untuk itu tema yang dapat saya baca dari novel ini adalah “mencari jodoh yang shaleh”. Di sini, penulis mengangkat tema ini karena acapkali seseorang yang akan menikah bukanlah ketaqwaannya kepada Allah, malah justru kekayaan harta yang dijadikan prioritas.
Hal ini didukung oleh cerita di mana Zahrana selalu menolak orang-orang yang melamarnya. karena Zahrana ingin mencari pendampinghidup yang baik, baik bagi dirinya dan anak-anaknya kelak. Selain ketaqwaan, Zahrana juga tidak ingin menikah untuk seolah-olah bahagia dengan orang yang tidak ia cintai.

Alur
Alur cerita adalah bagaimana kejadian-kejadian dirangkai (biasanya berdasarkan sebab akibat) mulai dari titik awal menanjak terus sampai titik klimaks untuk kemudian menurun dan mencapai resolusi atau penyelesaian.
Takbir Cinta Zahrana merupakan novel yang beralur maju atau progresif. Dalam hal ini narator memulai ceritanya dengan penggambaran sosok Zahrana yang mempunyai pekerjaan yang terhormat dan bisa di banggakan. Soarang wanita yang sukses dalam bidang akademis. Cerita ini terus berkembang sesuai urutan waktu hinnga pada akhir cerita yang bersifat happy ending berupa berlangsungnya pernikahan Zahrana dengan Hasan.
Alur novel bersifat rapat. Karena pergantian peristiwanya yang terbilang cepat. Dalam hal ini, penyimpangan (digresi) sepanjang alur yang sengaja tidak terlalu banyak ditampilkan. Karena penyimpangan dalam sebuah novel dianggap kurang mempunyai peranan yang membangun, tetapi bukan berarti tidak membangun cerita.
Adapun alur peristiwa-peristiwa Takbir Cinta Zahrana, akan saya uraikan sebagai berikut.
a) Matanya berkaca-kaca meratapi nasibnya. Diusianya yang telah berkepala tiga, ia masih juga belum menemukan calon suami yang cocok di hatinya. Ia menyesal ketika ia merasa bahwa jodoh semakin menjauh di umurnya yg sudah berkepala 3 itu. Penyesalan yang terlambat karena semua lelaki yg pernah melamarnya sudah berumah tangga dengan wanita lain. Suatu hari seseorang kembali datang melamarnya. Tidak tanggung-tanggung, yg datang kali ini adalah Dekan di fakultas di mana ia mengajar. Lamaran itu datang dari seorang duda bertitel haji dengan kekayaan yg melimpah ruah yg akan membuat perempuan mana pun tidak akan berpikir dua kali untuk menerima lamarannya. Tapi berbeda dengan Zahrana yang tahu persis sikap dan akhlak kurang terpuji yg dimiliki oleh Pak Karman, Dekan yang akan melamarnya itu.
Zahrana kebingungan. Menolak lamaran pak Karman berarti lagi-lagi harus mengecewakan kedua orang tuanya yang sudah renta. Menerima berarti ia harus bersedia hidup dengan lelaki yang terkenal suka berbuat asusila terhadap mahasiswi di kampus. Keputusan harus diambil. Ia pun menolak meskipun ia sangat mengerti resiko dari penolakannya itu.
Zahrana hampir saja putus asa dan memutuskan untuk menerima lamaran pak Karman. Akan tetapi akal sehatnya masih berfungsi. Karena bagaimana mungkin orang yang ia benci karna sikapnya yang amoral dapat menjadi anutan bagi dirinya serta anak-anaknya kelak?
Zahrana tetap menolak dengan cara baik dan sehalus mungkin. karena hanya dengan kelembutan sikap ia dapat menang dan dengannya merupakan senjata yang paling ampuh untuk melumpuhkan lawannya.
b) Pak Karman menjadi dendam dan berusaha mengeluarkannya dari kampus secara tidak terhormat. Sebelum niat Pak Karman kesampaian, ia terlebih dahulu mengajukan pengunduran diri dan memilih mengajar di salah satu STM yang bernaung di bawah sebuah pesantren. Karena untuk menghindari hal-hal yang mungkin tidak ia inginkan. akhirnya Zahrana pun mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen. Nampaknya penderitaan Zahrana tidak berhenti di situ sahaja. Penolakan yang ia sampaikan kepada pak Karman secara halus justru menimbulkan masalah baru. Pak Karman tidak terima dan tidak tinggal diam begitu saja. Sebagai orang nomor satu di Fakultas Teknik, ia merasa dilecehkan dan tidak dihargai karma lamarannya ditolak. Berbagai teror di gencarkan olehnya kepada Zahrana serta sumpah serapah serta cacian terus dibuatnya untuk membalas perlakuan Zahrana. berbagai usaha dilakukan untuk menyakiti Zahrana. baik melalui sms ataupun yang lainya.
c) Nampaknya bumi telah banyak berputar pada porosnya. Detik jarum jam berputar begitu cepat. Orang tua Zahrana yang sudah mulai renta, diusia mereka yang senja, mereka sudah sangat merindukan untuk menimang cucu. Akan tetapi, Zahrana belum juga mendapatkan jodoh. Melalui ibu Nyai Sa`adah ia meminta bantuan agar dicarikan jodoh sebagaimana yang ia inginkan. Dan beliaupun dengan suka rela membantunya. Kali ini Zahrana merasa seolah sangat buruk nasibnya, karena harus berjodoh dengan penjual kerupuk keliling. Zahrana hanya dapat pasrah pada takdir hidupnya.
Demi mengejar takdirnya, iapun menunggu penjual kerupuk yang akan lewat di depan rumahnya. Namun, tak satupun yang kunjung datang melewati rumahnya. Lelah,letih serta lesu dalam menunggu. Itulah yang ia rasakan.
Terdengar lirih suara tukang kerupuk menyusup dalam telinganya. Penjual kerupuk itu sudah tua, badanya kurus dan layu terbakar matahari. Zahrana menangis, hatinya pilu jika seandainya jodoh yang dikirim oleh ibu nyai Sa`adah adalah seorang kakek-kakek yang lebih pantas menjadi ayahnya. Zahrana masih menunggu, berharap ada penjual kerupuk lain yang datang.
Hampir menjelang maghrib penjual kerupuk yang ia harapkan pun tiba. Tutur bahasa yang halus, jujur, menearkan pesona tersendiri baginya. Pesona Rahmad sang penjual kerupuk ternyata mampu mekikat hatinya. Kebahagianpun akhirnya datang kepada Zahrana, ia merasa berhak untuk bahagia sebagaimana layaknya wanita pada umumnya, memiliki seorang suami yang nantinya akan membimbingnya mengarungi hidup.
d) Mendekati hari pernikahan kedua pihak keluarga sama-sama sibuk mempersiapkan acara pernikaan. Kebahagian yang Zahrana rasakan tiba-tiba hilang dalam sekejap. Ia bagaikan terbangun dalam mimpi indahnya. Menjelang hari pernikahannya, Rahmad calon suaminya meninggal dunia tertabrak kereta api. Zahrana tak sadarkan diri hingga beberapa hari. Bukanlah pesta pernikahan yang digelar tetapi upacara belasungkawa kematian. Bukan ucapan selama atas kebahagiaannya melainkan ucapan turut berduka cita. Ayah Zahrana yang sudah tua tidak mampu dengan tekanan batin yang terjadi kepada anaknya. Mendengar calon menantunya meninggal pak Munajat (ayah Zahrana) akhrinya mendapatkat serangan jantung. Beliau menyusul calon menantunya hari itu juga. Lengkap sudah penderitaan Zahrana.
e) Zahrana merasa bahwa Kematian calon suaminya tidak wajar. Karna kemungkinan besar ada pak Karman di balik semuanya itu. Zahrana memohon kepada Allah agar orang penyebab kematian calon suaminya, diberikan balasan yang setimpal. Mati dalam keadaan hina di mata manusia.
Selang beberapa hari,beredar di surat kabar bahwa “karena berbuat cabul seorang Dekan Fakultas Teknik mati dibunuh diruang kerjanya”.
Zahrana merasa doanya dikabulkan oleh Allah. Yang jahat akhirnya mendapatkan balasannya sendiri.
Kehidupan Zahrana terasa lebih tenang saat ini. Hari-harinya dilaluai penuh semangat dan senyuman. Tiba-tiba sebuah tawaran diajukan oleh dr. Zulaiha—orangtua Hasan—untuk menikah dengan putranya tersebut. Zahrana kaget dan bingung. Seorang mahasiswanya melamar dirinya? Apalagi umur Zahrana lebih tua di banding hasan. Zahrana yang saat itu berumur 34 dan Hasan 29 tahun.
Zahrana pun mengambil keputusan untuk menerima Hasan sebagai suaminya. Karma kepribadian Hasan yang baik. Bagi Zahrana umur tak menjadi masalah, status tidak menjadi masalah bagi dirinya.
Malam itu juga, setelah shalat tarawih Zahrana melangsungkan pernikahannya dengan Hasan. Kebahagiaanya itu menghapus semua derita yang dialaminya selama ini. Ia semakin yakin, bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang sabar dan ihsan. Tasbih selalu mengiringi tarikan nafas Zahrana. Saat itu, benar, benar menjadi malam kesaksian Zahrana atas tasbih, Tahmid dan Takbir Cinta yang didendangkan oleh Allah `Azza wa Jalla kepadanya. Subhanallah wal hamdulillah wa laailaaha illallahu wallahuakbar!.

Tokoh
a) Zahrana
b) Ir, Merlin Siregar M.T.
c) Bpk. H Sukarman, M.Sc,
d) Lina.
e) Wati
f) Orang tua Zahrana
g) Pak Darmanto
h) Bpk Didik Hamdani
i) Nina
j) Hasan
k) Bu Nyai Sa`adah al-Hafidzah
l) Ibu dr. Zulaiha.
Nama-nama yang tersebut di atas merupakan tokoh-tokoh yang tedapat dalam Takbir Cinta Zahrana. Sesuai dengan judul, cerita berpusat pada tokoh Zahrana. Ia muncul sejak awal cerita. Pada bagian berikutnya, prinsipnya tentang mencari pasangan hidup yang sholeh banyak mendapatkan kecaman dari bapak Sukarman—sebagai orang yang telah ditolak lamarannya.
Seorang tokoh tentulah tidak dapat berdiri sendiri atau berlaku sendiri tanpa kehadiran tokoh lain. Oleh karena itu, di dalam novel Takbir Cinta Zahrana pun dihadirkan tokoh-tokoh lain agar cerita benar-benar terasa hidup. Kehidupan itu akan terasakan juga apabila ada interaksi dengan tokoh-tokoh yang lain.

Perkembangan Watak Tokoh
Dalam perkembangan alur, tokoh sederhana bersifat statis, wataknya sedikit sekali berubah, bahkan adakalanya tidak berubah sama sekali. Bpk. H Sukarman, M.Sc, selalu ditampilkan jahat. Maka, ketika ia berbuat baik sedikit langsung dicurigai oleh Zahrana bahwa ada kaitan anatara kematian Rahmad—calon suami Zahrana—dengan bpk. H Sukarman, M.Sc. Hal ini terjadi di pertengahan cerita ketika ia berbuat baik—datang untuk melayat dan berbelasungkawa—di hari berkabungnya Zahrana (hlm. 68). Pada cerita selanjtnya tokoh Sukarman ini barulah ketahuan belangnya terlihat oleh umum ketika surat kabar yang menerangkan bahwa S (55 tahun), mencabuli mahasiswinya. Pak Karman meninggal terbunuh di ruang kerjanya (hlm. 74-75). Ia digambarkan sebagai tokoh antagonis yang suka main perempuan, bertindak semena-mena. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Zahrana dan Orang Tuanya, Ir, Merlin Siregar M.T, Lina, Wati, Ibu dr. Zulaiha, Bpk Didik Hamdani, Hasan, Nina, serta Bu Nyai Sa`adah ditampilkan sebagai orang-orang yang baik, bijaksana dan penyanyang.

Penokohan
Dalam penokohan Takbir Cinta Zahrana keadaan fisik dan watak tokoh-tokoh cerita dideskripsikan, diuraikan dan dijelaskan secara langsung oleh narator atau pencerita.
Sebagai tokoh utama pendukung, Zahrana dan Hasan digambarkan kesuksesannya dalam bidang akademis secara berlebihan. Zahrana dapat dikatakan juga sebagai tokoh protagonis atau sentral (tokoh yang banyak mengalami peristiwa). Ia dikenal sebagai seorang dosen dan pengajar yang berdedikasi tinggi, mempunyai keteguhan prinsip, ulet, disiplin dan Tidak hanya itu, sikap Zahrana yang tenang, membuat dia mempunyai wibawa di kalangan masyarakat. Sedangkan Hasan adalah seorang yang rupawan. Ia juga adalah mahasiswa yang sangat berprestasi. Ia merupakan sesosok lelaki yang mempunyai tanggung jawab, sopan, dan berdedikasi. Semangat juangnya dalam meraih cita-cita begitu tinggi. Penokohan mereka saya anggap terlalu berlebihan karena sebagai manusia (dalam bidang akademis) seolah tidak memiliki cacat.
Kemudian penokohan Orang Tua Zahrana di sini digambarkan sebagai orang tua yang sanagat menyayangi anaknya (Zahrana). Berbeda dengan kedua tokoh di atas, orang tua Zahrana dalam penokohannya itu sederhana. Karena layaknya orang tua yang melihat anaknya sudah berkepala tiga namun belum juga menikah, maka orang tua akan merasa sedih
Bpk. H Sukarman, M.Sc., ia digambarkan sebagai seorang dekan fakultas Teknik yang mempunyai intelektual. Namun intelektualnya tidak selaras dengan sifatnya yang angkuh. Ia adalah seorang yang berstaus duda dan bertitel haji dengan kekayaan yg melimpah ruah yang akan membuat perempuan mana pun tidak akan berpikir dua kali untuk menerima lamarannya. Di sini, pak Karman digambarkan sebagai tokoh antagonis yang suka main perempuan, bertindak semena-mena. Menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Bu Nyai Sa`adah al-Hafidzah seorang yang sangat halus tutur bahasanya, begitu perhatian terhadap anak didiknya dan menyenangkan. Sehingga dalam penokohannya dikatakan melalui tangannya banyak lahir santriwati yang hafal al-Qur`an (hlm. 43). Beliau juga sangat bijaksana dalam memberikan saran.
Rahmad seorang penjual kerupuk keliling yang dikirim oleh ibu nyai Sa`adah al-Hafidzah sebagai calon suami Zahrana. Ia digambarkan sebagai seorang yang memiliki akhlak yang baik serta tekun dalam beribadah. Tanggung jawabnya dapat diandalkan. Ia merupakan orang yang terjaga kejujurannya serta patuh terhadap guru. Oleh sebab itu, Rahmad dipilih sebagai orang yang pantas bersanding dengan Zahrana. Namun sebelum pesta penikahan digelar, Rahmad meninggal tertarak kereta api.
Ir, Merlin Siregar M.T. adalah pembantu dekan, ia adalah seorang pembantu dekan yang sangat tegas. Dibalik ketegasannya, ia adalah sesosok wanita yang lembut dan suka membantu.
Wati dan Lina di sini digambarkan sebagai seorang sahabat yang selalu ada untuk Zahrana. Mereka merupakan tokoh sederhana. Rasa simpati serta empati mereka sangat besar, disaat Zahrana rapuh karena cobaan yang datang bertubi-tubi, mereka berdua selalu ada dan memberikan motivasi hidup.

Latar
Dalam novel Takbir Cinta Zahrana dibangun dengan latar yang meliputi latar sosial, latar tempat dan latar spiritual. Latar tempat dapat menunjukkan lokasi terjadinya cerita. Adapun latar sosial dapat mendiskripsikan kondisi masyarakat di dalam novel Takbir Cinta Zahrana. Kemudian latar spiritual juga dapat menunjukkan kondisi spiritual (keagamaan) yang dimiliki para tokoh cerita. Setiap tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling melengkapi satu sama lain.

Latar Sosial
Dalam novel ini kehidupan sosialnya sudah terlihat begitu demokratis. Hal ini terlihat bahwa pengaruh pendidikan yang sudah merubah pola pikir mereka.
Hal ini tercermin pada orang tua Zahrana yang tidak melakukan diskriminasi kepada anaknya. Kehidupan anaknya sepenuhnya berada pada anaknya. ketidak ikut campuran orang tuanya mengenai urusan pernikahan anak semata wayangnya merupakan bentuk demokratis. Meskipun ayahnya pernah memberikan calon suami kepada Zahrana, tetapi keputusan tetap berada di tangannya. Orang tua Zahrana sama sekali tidak melakukan diskrimnasi.
Kemudian ibu nyai Sa`adah yang mencarikan jodoh untuknya, juga tidak memaksa bahwa Zahrana harus menikah dan menjatuhkan pilihannya terhadap Rahmad sang penjual kerupuk.
Lingkungan yang demokratis, sudah mulai tercermin pada Bangsa ini. Hal ini karena faktor pendikan yang sudah tersebar diseluruh Indonesia. Akan tetapi, sikap orang tua yang memaksa anaknya untuk selalu mengikuti keinginan mereka juga belum sepenuhnya terhapus.

Latar Tempat
Sebagian besar cerita Takbir Cinta Zahrana di Jawa Tengah. Kota semarang merupakan tempat di mana ia mengajar di sebuah Universitas swasta terkemuka. Akan tetapi, tak lama kemuadian ia pindah mengajar di STM Al-Fatah Mranggen, Demak, yang berada di bawah naungan Yayasan Pesantran Al-Fatah. Ia dan keluarganya tinggal di Perumahan Klipang Asri. Jalan Madukara.B-15. Adapun tokoh-tokoh yang lain tidak begitu jelas dipaparkan. Karena seringnya kejadian hanya di lokasi kampus, rumah Zahrana, sekolahan STM Al-Fatah dan RS. Roemani di mana Zahrana dirawat.

Latar Spiritual
Kondisi spiritual dalam novel ini begitu kental. Disini pengarang menunjukkannya bahwa seorang Zahrana yang terlambat menikah tak lantas putus asa sehingga dengan mudah memberikan keputusan terhadap para lelaki yang datang untuk melamarnya. Syarat atau kriteria Zahrana dalam memilih calon suami yang dapat dijadikan imam serta teladan bagi dirinya serta anak-anaknya. Walaupun di usianya yang dibilag sudah terlambat menikah, Zahrana tetap pada pendirianya, mencari suami yang shaleh.
Disaat Zahrana kehilangan calon suaminya, ia tetap tabah. Ia merasa Disinilah keteguhan iman Zahrana diuji bahwa Allah Maha Mengetahui takdir jodohnya.


Amanat

a) Menyadari begitu pentingnya pendidikan. Karna pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan suasana belajar yang secara aktif dapat mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
b) Kita harus menyadari bahwa hidup adalah proses. Sehingga kita tidak diperbolehkan memandang diri kita lebih baik daripada orang lain.
c) Kita harus memikirkan masak-masak untuk memutuskan sesuatu, walaupun itu menyakitkan kita.
d) Tidak menilai orang hanya dari fisik saja (tidak menilai seseorang baik itu titel maupun yang lainnya)
e) Harus memaksimalkan manfaat dan meminimalisir konflik.
f) Dalam hidup bersosial, kita dituntut untuk memiliki moral, serta sopan santun (berakhlak). Karena manusia diwajibkan mempunyai akhlak.
g) Sabar dalam menghadapi cobaan. Karena kita tidak tahu apa yang akan direncanakan oleh Allah kepada kita. Mungkin dengan adanya cobaan yang diberikan kepada kita, Allah sedang mempersiapkan kita menjadi hamba pilihannya yang Ia sayangi.
Untuk itu, kita tidak boleh berperasangka buruk kepada Allah. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan kepada hamba-Nya di luar batas kemampuan.
h) Tidak putus asa dalam berikhtiar mencari apa yang kita inginkan. Karena allah telah berfirman “walaa tay asuu min rahmatillah”. Terus berjuang tanpa menafikan Allah. Karena Allah selalu bersama hamban-Nya yang mau mengingatnya dimanapun berada.

Sudut pandang
Dalam novel ini, dilihat dari sudut pandangnya pengarang adalah merupakan seseorang yang tidak terlibat dalam peristiwa-peristiwa cerita atau dapat disebut sebagai sudut pandang orang ke-3.

Hubungan Antar Unsur
Di atas telah dikemukakan bahwa tema sentral Takbir Cinta Zahrana adalah: “mencari jodoh yang shaleh” tema tersebut dibangun oleh masalah pokok: kriteria seorang suami untuk Zahrana. Dengan kehidupan lingkungan yang acapkali menjatuhkan pilihan berdasarkan kekayaan.
Untuk menghidupkan masalah dan tema tersebut tersebut dihadirkan tokoh, antara lain tokoh yang mendukung untuk mempunyai pasangan yang baik atau Shaleh (Zahrana, Bu nyai Sa`adah, Orang Tua Zahrana, Rahmad, Lina, Wati, dr Zulaiha, Nina, Hasan), tokoh yang Jahat—(Sukarman).
tokoh-tokoh yang mendukung untuk mempunyai pasangan yang baik atau Shaleh digambarkan dengan watak yang baik, bertutur kata sopan dan bijaksan, serta berperilaku mulia. Tidak jarang mereka kebaikan watak itu tercermin pada kesederhanaan dan keindahan paras seperti yang nampak pada tokoh Zahrana, Hasan, Lina, Nina dan Rahmad. Sementara itu, keburukan watak tokoh tercermin pada keburukan fisik seperti bpk Sukarman, yang menyeramkan dan menunjukkan bahwa wataknya kurang baik, bengis,dan (dengki hal. 17).
Tokoh-tokoh tersebut dihidupkan dalam setting daerah Jawa Tengah, tempat terjadinya peristiwa. Pemilihan latar ini sangat tepat untuk mendiskripsikan suatu peristiwa karena keadaan masyarakat Jawa Tengah yang masih kental dengan agama.
Penulis juga membangun permasalahan di dalamnya. Untuk memberikan kehidupan dalam cerita. Sehingga dapat memberikan hayalan bagi pembaca yang seolah-olah hadir didalamnya.
Kemudian latar tersebut dikembangkan lagi dengan inti peristiwa (amanat) yang ingin disampaikan oleh penulis. Kapada siapa amanat tersebut disampaikan.
Semua unsur yang dihadirkan di atas, untuk saling melengkapi satu sama lain, tidak berdiri sendiri dan saling berhubungan. Sehingga menjadikannya sebuah karya sastra yang indah.

Sabtu, 06 Desember 2008

Al-kalabazi
Nama lengkap beliau adalah abu bakar bin Abi Ishaq al-Kalabadzi. Tidak diperoleh pasti tentang kelahirannya. Akan tetapi nisbahnya dianggap sebagai merujuk kepada sebuah tempat Bukhara, yang bernama Kalabadz. Ia dimakamkan di Bukhara. Tahun wafatnya yang paling popular adalah 380/990 . Meskipun ada juga ang mengatakan bahwa ia wafat 384 H/994 M atau 385 H/995 M .
Hampir semua yang diketehui tentang ihwal pendidikan dan latar belakang profesionalnya adalah bahwa dia mempelajari hokum Islam dengan seorang faqih Hanafi bernama Muhammad bin Fadhl (w.319/913). Sebagai seorang sufi, Kalabadzi adalah seorang murid dari FAris Ibn Isa (w. + 340/951), seorang sahabat dari martir yang paling terkenal dalam dunia tasawuf, Hallaj.
Kalabadzi dikenal lantaran karyanya yang berjudul Al-Ta`arruf li-Madzhab Ahl al-Tashawuf. Kitab ini mendapatkan penghargaan yang tinggi karena isinya yang cukup jelas dalam menguraikan ajaran-ajaran tasawuf sembari menguraikan bahwa tasawuf adalah sejalan dengan Islam ortodoks.
Penjelasan Kalabadzi memuat 75 pasal ringkas yang disusun dalam lima bagian: latar belakang umum kelahiran tasawuf, termasuk beberapa daftar pengarang dan sufi masyhur. 24 bab menegnai berbagai doktrin atau unsur keyakinan, 5-30; analisis cirri-ciri utama dari pedagogi sufi ihwal pengalaman dan pertumbuhan spiritual (31 – 51); dan terakhir, serangkaian pasal yang berorientas yang berorientasi praktis yang merinci pembuktian ajaran sufi (64-75).
Kababzi lebih tertarik pada penyediaan pandangan yang lebih luas atas doktrin-doktrin sufi. Sekalipun katalognya atas apa yang penulis sebut sebagai maqam dan hal tampak lebih maju, dia tidak mengaitkan secara eksplisit pada pertumbuhan tersebut. Dia juga memasukkan dua dari empat babnya tentang makrifat—Bab 21: tentang makrifat dan Bab 22: perbedaan pandangan tentang makrifat—di tengah-tengah masalah lainnya tentang lika-liku datar “doktrin-doktrin” sufi. Pada bab pertama, ia menekankan tidak memadainya akal dan kebutuhan pada Allah sebagai satu-satunya pandu meuju-Nya terhadap latar belakang itu, ia mengikuti pembedaan yang diberikan Junaid tentang dua aras makrifatullah. Aras pertama adalah penyingkapan dari Ilahi (ta`arruf), sedemkian sehingga Allah menganugerahi Ibrahim ketika Dia memperlihatkan kepadanya alam-alam malakut dari langit dan bumi (QS 6: 75-79). Dan aras rendah dari titah dan pelajaran adari Ilahi , di mana semua orang beriman sampai pada tingkat makrifat melalui kesadaran akan “tanda-tanda pada ufuk dan diri mereka sendiri”.
Dia juga memulai dengan perbedaaan yang menarik lainnya antara dua corak makrifat: makrifat kebenaran, yang melibatkan kebenaran keesaan Ilahi: dan kebenaran terhadap realitas spiritual puncak (haqiqah), yang mencakup bahwa realisasi bahwa pengetahuan semacam itu merupakan karunia murni dan tidak bisa dicapai melalui nalar. Akhirnya bab 62 mendiskusikan “penjelasan tentang orang yang dikaruniai makrifat” menekankan kualitas kekacauan dan ketidak cukupan nalar, tetapi tetapi itu tidak memilih salah satu nalar deskripsi yang terpapar.



Abu Thalib Al-Makki

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ali bin Athiyah Abu thalib al-Makki al-Harits al- Maliki. Beliau merupakan tokoh sufi dan penulis spiritual muslim awall abad pertengahan yang cukup berpengaruh . Beliau wafat di Baghdad pada tahun 386 H/996 M. dan sekali lagi, makamnyapun masih belum jelas keberadaanya.
Kapan beliau dilahirkan tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi beliau tumbuh Makkah abad ke-10, sebagian yang lain mengatakan beliau dilahirkan diJabal yaitu daeerah antara Baghdad dan Wasith.
Kehidupan dan pendidikan yang dijalan oleh Abu Thalib al-Makki tidaklah banyak disebutkan di dalam sejarahnya para tokoh Sufi.
Beliau merupakan tokoh sufi yang sangat tekun dalam mengkaji ilmu agama, sehingga balia nampak banyak memiliki ilmu agama. Penguasaannya dalam bidang agama sudah tidak diragukan lagi. Dalam menimba ilmu beliau banyak berguru kepada orang-orang alim. Seperti; Syekh Ali bin Ahmad bin al-Mashri, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad al-jarajarini al-Mufid dan kepada Abul Hasan Ahmad bin Muhammad Ibnu Ahmad bin Salim al-Shaghir, di mana beliau memperdalam ilmu tasawufnya.
Ajaran tasawuf yang beliau pelajari ialah Taswuf Salafiyah beliau mendalaminya dengan berguru kepada Abu al-Hasan di Iraq. Kemudian setelah belajar tasawuf yang dibawanya banyak diikuti oleh oleh masyarakat Basrah dan umat islam saat itu. Karena tasawuf beliau bersumber dari Tasawuf Sahab bin Abdullah al-Tistari.
Akan tetapi, beliau mengalami kesulitan di dalam mengembangkan ajarannya karena penduduk Basrah dalam kehidupan tasawufnya banyak yang enganut aliran Salimiyah sedangkan penduduk Baghdad kehidupan tasawufnya mengikuti aliran junaidiyah. Oleh sebab itu anu thalib al-makki dilarang untuk mengembangkan tasawufnya dikota Baghdad karena telah terjadi perbedaan.
Sebagai seorang Sufi, Ia memiliki dasar-dasar pemikiran yang telah dikembangkannya—Pemikiran beliau banyak termaktub dalam karya monumentalnya yaitu; Qut al-quluub fi mu`allamatil mahbub wa washf thariq al-muriid ila maqaam al-tauhiid, yang banyak dibaca secara luas dan dianjurkan selama beberapa abad.
Dalam buku tersebut al-Makki mencoba menggambarkan makrifat tidak melakukan dalam konteks mencari pengetahuan yang lebih besar, tetapi dia melakukan perhatian epistemologis atas seluruh fondasi karyanya. Ia juga menncirikan dua subember makrifat, yakni pendengaran (yang dengannya seseorang menjadi muslim) dan penglihatan ( penyaksian kontemplatif, musayahadah).
Dalam pengetahuannya tentang makrifat ia juga mengidentikkan pengetahuan dengan iman, ketakwaan dan kualitas spiritual lainnya. Ia juga menjelaskan “sosiologi makrifat” yang memaparkan secara luas, yang sebenarnya, hubungan mereka dengan para nabi, dan ganjaran bagi mereka yang menyalah gunakan pengetahuannya mereka untuk keutuhan duniawi.

Formalisme dan Strukturalisme

Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses pelaksanaannya.

Hubungan karta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme yang telah berhasil memasuki hamper seluruh bidang manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara histories, perkembangangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu; formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandungciri-ciri khas dari tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini tentang karakteristik formalisme, analisis formalisme, prinsip strukturalisme dan kelebihan serta kelemahan dari strukturalisme.

Karakteristik Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut,
a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi dan psikologi.
Dapat dikatakan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjukkan beberapa disiplin ilmu yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat melalui Emmanuel Kant (1724—1808), mulai mempetimbangkann melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objetivitas dan keniscayaan pengertian, di pihak lain juga menerima pengertian bertolak dari gejala-gejala.
Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikianjuga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahamidalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai system komunikasi berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologi formalisme berasal dari Forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isioleh karena itulah cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern . Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana sastra dipelajari, melainkan lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri. Metode formal yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan caramemaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang teorganisirkan.
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung¬―pada hubungan dan karespondensi yang tidak terbatas―yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)―yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan bentuk dan isi, fabula dan sjuzet , otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan merupakan cirri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intrinsic antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahsa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraan yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra.

Prinsip Strukturalisme
Secara etimologis struktur berasal dari kaa structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal mula kata strukturalisme, seperti yang dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedy, lebih khusus lagu dalam pembicaraannya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki cirri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 12—134). Perubahan pardigma yang mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan perioritas terhadap karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915—1930), strukturalisme Prahara (1940-an), dan sekitar 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an)
Strukturalisme sebagaimana yang mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak lain metode berarti prosedur ilmiyah yang relative baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas dengan mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berpikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalismedisempuranakan kembali dalam strukturalisme genetic, resepsi, interteks dan akhirnya pasca strukturalisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Dalam menjelaskan bahasa, Saussure mengemukakan bahwa bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan tanda-tanda lampu lalulintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya di asosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar di hubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucalut, Gerar Genette. Sebagian besar mereka memasuki era baru dalam teori postrukturalis.
Secara definitive strukturalisme adalah paham menegnai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di suatu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, di pihak yang lainhubungan antara unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan denga system. Dengan demikian struktur menunjukkan pada kata benda, sedangkan system menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjukkan unsur-insur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan system. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur hanyalah agregasi.
Perkembangan ilmu pengetatahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi dalam sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan mematikan konsep pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Analisis Formalisme
Analisis formalis, lebih menekankan pada hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Fokus analisis adalah pada efek-efek estetika yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana kesastraan dibedakan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia ke dalam bentuk khusus. Misalnya pada contoh dibawah ini:
Narasi Dua Puisi Air, si “Tukang Air”.
Dua puisi Eka Budianta yang berjudul Hanya Untuk Sungai dan Hidup Seribu Sungai, dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Masih Bersama Langit”, merupakan dua puisi yang saling berkaitan. Dan apabila puisi itu dijadikan satu maka akan membentuk satu naratif yang menceritakan perjalanan air dari sungai sampai kemudian mereka menjadi satu di laut.
Simak puisi pertama si ‘tukang air’ ini, yang berjudul Hanya Untuk Sungai;
Tiba-tiba sungai itu teringat laut// sungai mana tak boleh pergi ke laut// sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah// alam pun pucat menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//
Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-lampu terjaga// dan penyair menyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai lautnya//
Sebelum masuk dalam ranah lebih luas lagi, karena ini merupakan analisis formalis, maka kami akan mencari satu hal yang mendominasi puisi ini. Dia adalah sungai dan kemudian saya persepsikan sungai sebagai air, menggingat sungai masih sangat luas.
Dalam penelitian Formalisme, penekanan penelitiannya hanya dalam cerita (fabula), alur (sjuzet), dan motif (Fokkem & Kunne-Ibsch via Endraswara, 2004: 48). Jika diteliti menurut kacamata seorang formalis, puisi diatas juga mengandung unsur-unsur yang dikatakan oleh Fokkem dan Kunne-Ibsch.
Perjalanan ‘Air’ berawal ketika dirinya teringat tentang laut, saat dia masih di sungai. Seperti satu kalimat pembuka dalam puisinya itu, “Tiba-tiba sungai itu teringat laut”. Namun, perjalanan air itu harus mengalami beberapa kendala, dalam hal ini si Tukang Air maksud saya penyair, menggambarkan kendala-kendala yang harus dihadapi air untuk sampai laut. Dan hambatan ini, karena ulah manusia. Dalam kodratnya, air dimuka bumi ini harusnya mengalami sebuah siklus hidrologi, dimana mereka akan menjadi uap, awan, kemudian hujan yang turun kebumi dan ditampung tanah serta sungai, lalu kemudian mengalir ke lautan bebas untuk kembali menjadi uap.
Dalam puisi itu, air tidak bisa mengalir ke laut karena manusia telah membikin waduk-waduk, membuat pabrik dengan mengeringkan sungai, mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sungai, sehingga sungai-sungai tidak bisa menjadi ‘jalan’ air ke lautan lepas. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam, sebagai akibat terganggunya siklus mereka.
Hal itu seperti dalam kalimat; sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah//. Mungkin karena siklus dari Tuhan ini diputus dan dirusak manusia, maka kemudian Tuhan marah, seperti yang tersirat dalam kalimat ini, alam pun pucat menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//. Akibatnya Tuhan mengirimkan bencana bagi umat manusia secara bertubi-tubi.
Sebagai tukang air, penyair sepertinya merasa berdosa atas kerusakan yang dia dan manusia timbulkan terhadap keberadaan air di sungai. Si penyair kemudian menulis, Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-lampu terjaga. Dan si tukang air ini merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan semuanya seperti sedia kala, karena dia juga seorang penyair, maka ia akan menulis puisi yang bisa menyentuh moral pembaca. Dan penyair menbyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai lautnya//
Puisi kedua berjudul Hidup Seribu Sungai, yang berada di lain halaman ternyata memiliki kesamaan alur, sehingga dapat dipastikan puisi itu merupakan lanjutan dari puisi si ‘tukang air’ yang pertama.
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Mungkin sudah digariskan/ aku mesti menyusuri hidup sendiri/ meskipun mungkin/ hanya mungkin kita akan berkumpul di laut//
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ kamu tak akan mengenaliku/ begitu banyak rahasia/ begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu//
Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang kucintai//
Dalam puisinya yang kedua ini, penyair kembali menceritakan perjalanan air dari sungai ke laut, namun dari sudut pandang berbeda. Jika di puisi pertamanya si tukang air menceritakan duka air yang terjebak di sungai tidak bisa kembali ke laut, untuk meneruskan ceritanya. Lantas, dalam puisinya yang kedua ini, penyair ingin menggambarkan penyesalan dan penyesalan semua orang yang telah melupakan keberadaan air di sungai.
Sayangnya penyesalan penyair datang terlambat, air yang dijumpainya dulu sangat jernih dan selalu bergemericik di sela-sela bebatuan gunung. Kini penyair hanya menjumpai air yang semakin keruh, bercampur limbah-limbah pabrik, dan hampir dia tak mengenalinya, seperti yang ditulis penyair, Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Telah banyak perubahan dan kesedihan yang dialami air, ketika harus melakukan siklus perjalanan dari sungai ke laut. Dan ironisnya, perubahan itu disebabkan oleh kita selaku manusia, lebih ironis lagi, perbuatan-perbuatan kita terhadap alam khususnya air seringkali tidak bersifat konservatif melainkan eksploitatif. Begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu.
Sebagai penyair, manusia, dan tukang air—Eka Budianta—tak ingin lepas tanggung jawab mengenai masalah ini. Lewat Yayasan Sahabat Aqua, Eka Budianta ingin memobilisasi kesadaran publik agar secara kolektik melakukan kegiatan positif untuk air. Dan inilah tantangan seorang penyair bagaimana menemukan kata-kata untuk menggerakkan kesadaran manusia, dengan cara berfikir jernih dan lancar seperti air. Seperti bait penutup dalam puisi keduanya; Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang kucintai.

Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan formalisme. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurna strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsic, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan felik Vodicka (Fokkema, 1977:31). Menurutnya karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah karya seni harus dikembalikan pada kompetensi menulis.
Strukturalisme memberikan perhatian terhadapa analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsure yang berbeda. Disamping sebagai abibat cirri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsure juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki cirri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Meskipun deikianperlu dikemukakan unsure-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: tema, peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan, plot, sudut pandang.
Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikmeukakan oleh para penemunya. Teoripun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemempuan peneliti. Teori memiliki funsi statis sekaligus dinamis. Aspek pastinya adalah dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan, dan totalilasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berkembang secara terus menerus, sehingga penelitian yang stu berbeda dengan penelitian yang lain.
Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori atau metode, cirri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana perlu adanya suatu keteraturan,suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran komunikasi, kerangka dan model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.