Sabtu, 06 Desember 2008

Formalisme dan Strukturalisme

Teori sastra khususnya sejak awal abad ke-20 berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini dengan sendirinya sejajar dengan terjadinya kompleksitas kehidupan manusia, yang kemudian memicu perkembangan genre sastra. Kemajuan dalam bidang teknologi informasi menopang sarana dan prasarana penelitian yang secara keseluruhan membantu kemudahan dalam proses pelaksanaannya.

Hubungan karta sastra dengan masyarakat, dengan teknologi informasi yang menyertainya, minat masyarakat terhadap manfaat penelitian interdisiplin, memberikan pengaruh terhadap perkembangan teori sastra selanjutnya. Strukturalisme yang telah berhasil memasuki hamper seluruh bidang manusia, dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman secara maksimal. Secara histories, perkembangangan strukturalisme terjadi melalui dua tahap, yaitu; formalisme dan strukturalisme dinamik. Meskipun demikian, dalam perkembangan tersebut juga terkandungciri-ciri khas dari tradisi intelektual yang secara langsung merupakan akibat perkembangan strukturalisme. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini tentang karakteristik formalisme, analisis formalisme, prinsip strukturalisme dan kelebihan serta kelemahan dari strukturalisme.

Karakteristik Formalisme
Sebagai teori modern mengenai sastra, secara historis kelahiran formalisme dipicu oleh paling sedikit tiga faktor, sebagai berikut,
a. Formalisme lahir sebagai akibat penolakannya terhadap paradigma positivisme abad ke-19 yang memegang teguh prinsip-prinsip kausalitas, dalam hubungan ini sebagai reaksi terhadap studi biografi.
b. Kecenderungan yang terjadi dalam ilmu humaniora, di mana terjadinya pergeseran dari paradigma diakronis ke sinkronis
c. Penolakan terhadap pendekatan tradisional yang selalu memberikan perhatian terhadap hubungan karya sastra dengan sejarah, sosiologi dan psikologi.
Dapat dikatakan dengan tradisi keilmuan secara luas, Ian Craib (1994: 156-157) menunjukkan beberapa disiplin ilmu yang dianggap sebagai awal perkembangan formalisme. Bidang filsafat melalui Emmanuel Kant (1724—1808), mulai mempetimbangkann melalui aliran kritisisme, Kant memadukan rasionalisme dengan empirisme. Artinya, di satu pihak Kant mempertahankan kualitas objetivitas dan keniscayaan pengertian, di pihak lain juga menerima pengertian bertolak dari gejala-gejala.
Dengan adanya divergensi subjek kreator, maka formalisme dengan demikianjuga menolak karya sastra sebagai ungkapan pandangan hidup, sekaligus perbedaan secara dikotomis antara bentuk dan isi. Sebagai kandungan, masalah-masalah yang berkaitan dengan isi dapat dipahamidalam kaitannya dengan fungsi. Formalisme juga menolak peranan karya sastra semata-mata sebagai sarana untuk memahami hakikat kebudayaan yang lebih luas. Sebagai system komunikasi berbeda dengan bahasa sehari-hari yang menyampaikan informasi melalui sarana-sarana di luar bahasa, formalisme menyampaikannya melalui tanda-tanda bahasa itu sendiri. Secara etimologi formalisme berasal dari Forma (Latin), yang berarti bentuk atau wujud. Formalisme mengutamakan pola-pola suara dan kata-kata formal, bukan isioleh karena itulah cara kerjanya disebut metode formal.
Peletak dasar formalisme adalah kelompok formalis (dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut “kaum formalis”) dipandang telah menyumbangkan sejumlah pemikiran dan gagasan penting bagi perkembangan studi dan telaah sastra. Sejumlah kalangan bahkan menganggap, gagasan-gagasan yang dikedepankan kaum formalis merupakan peletak dasar teori sastra modern . Victor Shklovsky, Boris Eichenbaum, Roman Jakobson, dan Leo Jakubinsky, adalah beberapa teoritisi yang tergabung di dalamnya. Dengan “metode formal” yang kemudian dikembangkannya, bentuk studi dan telaah sastra kalangan formalis sempat begitu berpengaruh di Rusia sekitar tahun 1914—1930-an.
Tujuan pokok formalisme adalah bukan dititikberatkan pada bagaimana sastra dipelajari, melainkan lebih merujuk pada apa yang sebenarnya menjadi persoalan pokok (subject matter) dari studi sastra itu sendiri. Metode formal yang digunakan, baik dalam tradisi formalisme maupun sesudah menjadi strukturalisme, bahkan sesudah strukturalisme, adalah metode formal. Metode formal tidak merusak teks juga tidak mereduksi, melainkan merekonstruksi dengan caramemaksimalkan konsep fungsi, sehingga menjadikan teks sebagai suatu kesatuan yang teorganisirkan.
Kaum formalis mempelajari perkembangan sastra sejauh menyangkut hal-hal yang mendalami suatu karakter khusus dengan tetap mempertahankan independensinya, terlepas dari kultur lainnya. Mereka tetap membatasi secara khusus pada fakta-fakta yang dianggap layak, dan sejauh mungkin berusaha untuk tidak masuk pada wilayah yang tidak berujung¬―pada hubungan dan karespondensi yang tidak terbatas―yang bagi mereka, hal itu sama sekali tidak akan pernah bisa menjelaskan perkembangan sastra. Mereka pun tetap konsisten untuk tidak mengedepankan pertanyaan perihal biografi dan psikologi (pengarang)―yang bagi mereka hal itu dipandang sangat serius dan kompleks. Mereka hanya tertarik pada masalah perkembangan itu sendiri, pada dinamika bentuk kesusastraan, sejauh hal itu pun dimungkinkan untuk bisa diobservasi lewat fakta-fakta masa lalu. Bagi mereka, fokus dari masalah sejarah sastra adalah perkembangan tanpa personalitas–studi sastra sebagai fenomena sosial yang terbentuk sendiri
Sejumlah istilah dan konsep yang secara khas disumbangkan oleh kelompok formalisme, diantaranya: kesastraan bentuk dan isi, fabula dan sjuzet , otomatisasi dan defamiliarisasi. Hakikat kesastraan merupakan cirri umum kelompok formalis. Menurutnya, meskipun pada dasarnya tidak ada perbedaan secara intrinsic antara bahasa sastra dengan bahasa sehari-hari, tetapi dengan cara mengadakan penyusunan kembali, dengan mempertimbangkan fungsinya dalam suatu struktur, maka bahasa sastra akan berbeda dengan bahsa biasa. Dalam hubungan inilah dikatakan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang diciptakan, aspek-aspek kesastraan yang membuat karya tertentu sebagai karya sastra.

Prinsip Strukturalisme
Secara etimologis struktur berasal dari kaa structura, bahasa Latin, yang berari bentuk atau bangunan. Asal mula kata strukturalisme, seperti yang dikemukakan di atas, dapat dilacak dalam Poetica Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedy, lebih khusus lagu dalam pembicaraannya mengenai plot. Konsep plot harus memiliki cirri yang terdiri atas kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 12—134). Perubahan pardigma yang mendasar baru terjadi dua puluh lima abad kemudian, yaitu dengan memberikan perioritas terhadap karya sastra itu sendiri. Perkembangan tersebut diawali oleh formalisme Rusia (1915—1930), strukturalisme Prahara (1940-an), dan sekitar 1960-an disusul oleh strukturalisme baru di Rusia, strukturalisme Perancis, strukturalisme Inggris, gerakan otonomi Jerman, strukturalisme di Belanda, dan strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an)
Strukturalisme sebagaimana yang mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak lain metode berarti prosedur ilmiyah yang relative baku. Pada masa tersebut strukturalisme terbatas dengan mekanisme antarhubungannya. Oleh karena itu, Robert Scholes (1977) menjelaskan keberadaan strukturalisme menjadi tiga tahap, yaitu: sebagai pergeseran paradigma berpikir, sebagai metode, dan terakhir sebagai teori. Mekanisme seperti ini merupakan cara yang biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Demikianlah akhirnya strukturalismedisempuranakan kembali dalam strukturalisme genetic, resepsi, interteks dan akhirnya pasca strukturalisme, khususnya dalam dekonstruksi.
Dalam menjelaskan bahasa, Saussure mengemukakan bahwa bahasa bukanlah tumpukan kata yang berfungsi untuk menjelaskan benda-benda. Simbol tidak berhubungan dengan rujukan, tetapi terdiri atas penanda dan petanda dan tanda-tanda lampu lalulintas. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, meskipun strukturalisme berhubungan erat dengan formalisme Rusia, aliran Praha, dan strukturalisme Polandia, strukturalisme pada umumnya di asosiasikan dengan pemikiran Perancis tahun 1960-an, yang sebagian besar di hubungkan dengan etnografi Levi-Strauss, demikian juga pemikiran Roland Barthes, Michel Foucalut, Gerar Genette. Sebagian besar mereka memasuki era baru dalam teori postrukturalis.
Secara definitive strukturalisme adalah paham menegnai unsure-unsur, yaitu struktur itu sendiri, dengan mekanisme antar hubungannya, di suatu pihak antarhubungan unsur yang satu dengan yang lainnya, di pihak yang lainhubungan antara unsur dengan totalitasnya. Hubungan tersebut tidak semata-mata bersifat positif, seperti keselarasan, kesesuaian, dan kesepahaman, tetapi juga negatif, seperti konflik dan pertentangan. Istilah struktur sering dikacaukan denga system. Dengan demikian struktur menunjukkan pada kata benda, sedangkan system menunjuk pada kata kerja. Pengertian-pengertian struktur yang telah digunakan untuk menunjukkan unsur-insur yang membentuk totalitas pada dasarnya telah mengimplikasikan keterlibatan system. Artinya, cara kerja sebagaimana ditunjukkan mekanisme antarhubungan sehingga terbentuk totalitas adalah sistem. Dengan kalimat lain, tanpa keterlibatan sistem maka unsur hanyalah agregasi.
Perkembangan ilmu pengetatahuan, setelah mencapai klimaks akan mengalami stagnasi dalam sebab akan timbul konsep dan paradigma baru, sesuai dengan perkembangan masyarakat yang mendukungnya. Klimaks strukturalisme dianggap sebagai involusi, tidak memberikan arti yang memadai terhadap hakikat kemanusiaan. Strukturalisme dianggap sebagai mementingkan objek, dengan konsekuensi menolak, bahkan mematikan konsep pencipta. Oleh karena itulah, strukturalisme dianggap sebagai antihumanis. Strukturalisme juga dianggap melepaskan karya dari sejarah sastra dan sosial budaya yang justru merupakan asal-usulnya.

Analisis Formalisme
Analisis formalis, lebih menekankan pada hipotesis-hipotesis yang telah dibangun sebelumnya. Fokus analisis adalah pada efek-efek estetika yang dihasilkan oleh sarana-sarana sastra, dan bagaimana kesastraan dibedakan serta dihubungkan dengan ekstra sastra. Dalam kaitan ini sarana estetis dipahami sebagai sarana ungkapan gagasan manusia ke dalam bentuk khusus. Misalnya pada contoh dibawah ini:
Narasi Dua Puisi Air, si “Tukang Air”.
Dua puisi Eka Budianta yang berjudul Hanya Untuk Sungai dan Hidup Seribu Sungai, dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Masih Bersama Langit”, merupakan dua puisi yang saling berkaitan. Dan apabila puisi itu dijadikan satu maka akan membentuk satu naratif yang menceritakan perjalanan air dari sungai sampai kemudian mereka menjadi satu di laut.
Simak puisi pertama si ‘tukang air’ ini, yang berjudul Hanya Untuk Sungai;
Tiba-tiba sungai itu teringat laut// sungai mana tak boleh pergi ke laut// sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah// alam pun pucat menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//
Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-lampu terjaga// dan penyair menyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai lautnya//
Sebelum masuk dalam ranah lebih luas lagi, karena ini merupakan analisis formalis, maka kami akan mencari satu hal yang mendominasi puisi ini. Dia adalah sungai dan kemudian saya persepsikan sungai sebagai air, menggingat sungai masih sangat luas.
Dalam penelitian Formalisme, penekanan penelitiannya hanya dalam cerita (fabula), alur (sjuzet), dan motif (Fokkem & Kunne-Ibsch via Endraswara, 2004: 48). Jika diteliti menurut kacamata seorang formalis, puisi diatas juga mengandung unsur-unsur yang dikatakan oleh Fokkem dan Kunne-Ibsch.
Perjalanan ‘Air’ berawal ketika dirinya teringat tentang laut, saat dia masih di sungai. Seperti satu kalimat pembuka dalam puisinya itu, “Tiba-tiba sungai itu teringat laut”. Namun, perjalanan air itu harus mengalami beberapa kendala, dalam hal ini si Tukang Air maksud saya penyair, menggambarkan kendala-kendala yang harus dihadapi air untuk sampai laut. Dan hambatan ini, karena ulah manusia. Dalam kodratnya, air dimuka bumi ini harusnya mengalami sebuah siklus hidrologi, dimana mereka akan menjadi uap, awan, kemudian hujan yang turun kebumi dan ditampung tanah serta sungai, lalu kemudian mengalir ke lautan bebas untuk kembali menjadi uap.
Dalam puisi itu, air tidak bisa mengalir ke laut karena manusia telah membikin waduk-waduk, membuat pabrik dengan mengeringkan sungai, mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sungai, sehingga sungai-sungai tidak bisa menjadi ‘jalan’ air ke lautan lepas. Hal ini kemudian mengakibatkan terjadinya berbagai bencana alam, sebagai akibat terganggunya siklus mereka.
Hal itu seperti dalam kalimat; sungai mana dilarang mengalir di sana?// ia marah/ berteriak/ meluap/ membanjiri rumah-rumah mewah//. Mungkin karena siklus dari Tuhan ini diputus dan dirusak manusia, maka kemudian Tuhan marah, seperti yang tersirat dalam kalimat ini, alam pun pucat menatapnya// langit menangis sederas-derasnya//. Akibatnya Tuhan mengirimkan bencana bagi umat manusia secara bertubi-tubi.
Sebagai tukang air, penyair sepertinya merasa berdosa atas kerusakan yang dia dan manusia timbulkan terhadap keberadaan air di sungai. Si penyair kemudian menulis, Hanya untuk sungai kamu menangis/ aku tahu/ aku merasa di pagi kelabu ketika hujan membasahi kota/ ketika lampu-lampu terjaga. Dan si tukang air ini merasa bertanggung jawab untuk mengembalikan semuanya seperti sedia kala, karena dia juga seorang penyair, maka ia akan menulis puisi yang bisa menyentuh moral pembaca. Dan penyair menbyiapkan hati untuk segala yang terjadi/ bila sungai tak mencapai lautnya//
Puisi kedua berjudul Hidup Seribu Sungai, yang berada di lain halaman ternyata memiliki kesamaan alur, sehingga dapat dipastikan puisi itu merupakan lanjutan dari puisi si ‘tukang air’ yang pertama.
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Mungkin sudah digariskan/ aku mesti menyusuri hidup sendiri/ meskipun mungkin/ hanya mungkin kita akan berkumpul di laut//
Seandainya kita bertemu malam ini/ aku tahu/ kamu tak akan mengenaliku/ begitu banyak rahasia/ begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu//
Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang kucintai//
Dalam puisinya yang kedua ini, penyair kembali menceritakan perjalanan air dari sungai ke laut, namun dari sudut pandang berbeda. Jika di puisi pertamanya si tukang air menceritakan duka air yang terjebak di sungai tidak bisa kembali ke laut, untuk meneruskan ceritanya. Lantas, dalam puisinya yang kedua ini, penyair ingin menggambarkan penyesalan dan penyesalan semua orang yang telah melupakan keberadaan air di sungai.
Sayangnya penyesalan penyair datang terlambat, air yang dijumpainya dulu sangat jernih dan selalu bergemericik di sela-sela bebatuan gunung. Kini penyair hanya menjumpai air yang semakin keruh, bercampur limbah-limbah pabrik, dan hampir dia tak mengenalinya, seperti yang ditulis penyair, Kamu bukan sungai yang dulu/ di pegunungan engkau jernih/ gemericik/ tapi di kota// bebanmu berat keruh dan—aku tak mengenalimu—
Telah banyak perubahan dan kesedihan yang dialami air, ketika harus melakukan siklus perjalanan dari sungai ke laut. Dan ironisnya, perubahan itu disebabkan oleh kita selaku manusia, lebih ironis lagi, perbuatan-perbuatan kita terhadap alam khususnya air seringkali tidak bersifat konservatif melainkan eksploitatif. Begitu sukar menerima segala telah berubah/ dan hanya bagus dalam mimpimu.
Sebagai penyair, manusia, dan tukang air—Eka Budianta—tak ingin lepas tanggung jawab mengenai masalah ini. Lewat Yayasan Sahabat Aqua, Eka Budianta ingin memobilisasi kesadaran publik agar secara kolektik melakukan kegiatan positif untuk air. Dan inilah tantangan seorang penyair bagaimana menemukan kata-kata untuk menggerakkan kesadaran manusia, dengan cara berfikir jernih dan lancar seperti air. Seperti bait penutup dalam puisi keduanya; Mungkin aku tidak akan pergi/ meninggalkan kursi ini/ tidak!/ aku akan pikirkan segala terbaik untuk sungai-sungai lain yang kucintai.

Kelebihan dan Kelemahan Strukturalisme
Lahirnya strukturalisme dinamik didasarkan atas kelemahan-kelemahan strukturalisme sebagaimana yang dianggap sebagai perkembangan formalisme. Strukturalisme dinamik dimaksudkan sebagai penyempurna strukturalisme yang semata-mata memberikan intensitas terhadap struktur intrinsic, yang dengan sendirinya melupakan aspek-aspek ekstrinsiknya. Strukturalisme dinamik mula-mula dikemukakan oleh Mukarovsky dan felik Vodicka (Fokkema, 1977:31). Menurutnya karya sastra adalah proses komunikasi, fakta semiotik, terdiri atas tanda, struktur dan nilai-nilai. Karya seni adalah petanda yang memperoleh makna dalam kesadaran pembaca. Oleh karena itulah karya seni harus dikembalikan pada kompetensi menulis.
Strukturalisme memberikan perhatian terhadapa analisis unsur-unsur karya. Setiap karya sastra, baik karya sastra dengan jenis yang sama maupun berbeda, memiliki unsure yang berbeda. Disamping sebagai abibat cirri-ciri inheren tersebut, perbedaan unsure juga terjadi sebagai akibat perbedaan proses resepsi pembaca. Dalam hubungan inilah karya sastra dikatakan sebagai memiliki cirri-ciri yang khas, otonom, tidak bisa digeneralisasikan. Meskipun deikianperlu dikemukakan unsure-unsur pokok yang terkandung dalam ketiga jenis karya, yaitu: tema, peristiwa atau kejadian, latar, penokohan atau perwatakan, plot, sudut pandang.
Sebagai akumulasi konsep, teori tidak harus dipahami secara kaku. Teori tidak harus dan tidak mungkin diterapkan secara persis sama sebagaimana dikmeukakan oleh para penemunya. Teoripun dapat ditafsirkan sesuai dengan kemempuan peneliti. Teori memiliki funsi statis sekaligus dinamis. Aspek pastinya adalah dasar yang membangun sekaligus membedakan suatu teori dengan teori yang lain. Dalam strukturalisme, misalnya, konsep-konsep dasarnya adalah unsur-unsur, antarhubungan, dan totalilasnya. Aspek-aspek dinamisnya adalah konsep-konsep dasar itu sendiri sudah dikaitkan dengan hakikat objeknya. Konsep inilah yang berkembang secara terus menerus, sehingga penelitian yang stu berbeda dengan penelitian yang lain.
Sebagai suatu cara pemahaman, baik sebagai teori atau metode, cirri-ciri yang cukup menonjol adalah lahirnya berbagai kerangka dan model analisis, khususnya analisis fiksi. Dalam kerangka strukturalisme, di mana perlu adanya suatu keteraturan,suatu pusat yang pada gilirannya akan melahirkan saluran komunikasi, kerangka dan model analisis yang dikemukakan oleh para kritikus sastra, sesuai dengan tujuannya masing-masing, dapat diterima secara positif. Sebaliknya dalam kerangka analisis sastra kontemporer jelas model analisis yang dimaksudkan tidak sesuai dan tidak diperlukan sebab prinsip-prinsip postrukturalisme memprasyaratkan pemahaman yang tidak harus dilakukan melalui suatu kerangka analisis yang sudah baku.

Tidak ada komentar: